Kamis, 18 Desember 2008

Beberapa Konvensi Internasional Yang Menghapuskan Hukuman Mati Di Beberapa Negara Di Dunia;

Pada 1969, Organisasi Negara-negara Amerika menyetujui American Convention on Human Rights dan American Convention on Human Rights ini baru mulai berlaku sejak 1978. Ketentuan mengenai hukuman mati dalam American Convention on Human Rights dapat ditemukan pada article 4 yang secara garis besar intinya sama dengan article 6 dari International Covenant on Civil and Political Rights. Dalam beberapa hal, American Convention selangkah lebih maju karena di dalamnya terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana politik atau terhadap seseorang yang berusia di atas 70 tahun. Article 4 dari Konvensi ini juga menyatakan bahwa hukuman mati tidak dapat diberlakukan kembali di negara yang telah menghapus hukuman mati .
Pada tahun 1987, Majelis Umum dari Organisasi Negara-negara Amerika berinisiatif untuk membuat optional protocol dari American Convention on Human Rights yang membahas mengenai penghapusan hukuman mati. Protokol ini secara tegas melarang negara untuk menjatuhkan hukuman mati. Tetapi berdasarkan protokol ini juga hukuman mati masih dapat dijatuhkan terhadap beberapa bentuk kejahatan dalam keadaan tertentu. Kejahatan yang dimaksud adalah kejahatan-kejahatan yang dianggap serius dalam lingkup militer yang dilakukan pada saat perang. Optional protocol ini mulai terbuka untuk penandatanganan dan peratifikasian sejak 1990. Sampai bulan Desember 2005, Protocol dari American Convention on Human Rights ini telah diratifikasi oleh 8 negara di Amerika dan 1 negara Amerika lainnya telah menandatangani tetapi belum meratifikasinya.
European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms merupakan konvensi tingkat regional di Eropa yang membahas mengenai hak asasi manusia. Konvensi ini dibuat oleh Dewan Eropa pada tahun 1950 dan masih pada tahun yang sama disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sampai saat ini Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa telah dilengkapi beberapa protokol tambahan. Pelaksanaan dari konvensi ini beserta protokol-protokolnya berada dibawah pengawasan European Court of Human Rights yang berkedudukan di Strasbourg.
Salah satu protokol dari European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms ini ada yang khusus mengatur mengenai larangan penerapan hukuman mati, yaitu protokol No. 6 yang disetujui pada 1983. Protokol tersebut berisi pembatasan terhadap penerapan hukuman mati dan kewajiban bagi negara yang meratifikasi untuk menghapuskan hukuman mati di negaranya. Sama halnya dengan Second Optional Protocol ICCPR, dalam protokol No. 6 dari konvensi ini juga terdapat pengecualian. Pengecualian untuk tetap boleh menjatuhkan hukuman mati tersebut berlaku terhadap kejahatan yang dilakukan dalam keadaan perang.
Sampai akhir tahun 2005, protokol ini telah diratifikasi oleh 45 negara di Eropa dan ditandatangani oleh 1 negara Eropa lainnya.
Selain protokol No. 6, Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa juga memiliki protokol tambahan lainnya yang khusus membahas mengenai penghapusan hukuman mati, yaitu protokol No. 13 yang disetujui pada tahun 2002. Protokol No. 13 dari Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa ini merupakan perkembangan dari protokol No. 6 dan merupakan langkah akhir dalam usaha penghapusan hukuman mati. Semakin tingginya penghargaan atas hak asasi manusia membuat protokol No. 13 ini dikeluarkan. Hal ini terlihat dari konsiderans yang menyebutkan bahwa hak hidup dari setiap manusia merupakan nilai yang mendasar dalam masyarakat demokratis dan penghapusan hukuman mati merupakan hal yang penting untuk melindungi hak ini sebagai pengakuan atas martabat manusia .
Protokol No. 13 dari Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa ini dikatakan langkah akhir dalam usaha penghapusan hukuman mati karena apabila dalam protokol No. 6 dikatakan bahwa hukuman mati masih dapat diberlakukan atas kejahatan yang dilakukan pada saat perang, maka dalam protokol No. 13 ini hukuman mati tidak dapat diberlakukan dalam keadaan apa pun.
Protokol ini telah diratifikasi oleh 33 negara di Eropa dan 10 negara Eropa lainnya telah menandatangani tetapi belum meratifikasinya.
Lebih dari setengah jumlah negara-negara di dunia telah menghapuskan hukuman mati baik dalam peraturan perundang-undangannya maupun dalam praktek pengadilannya. Berdasarkan data Amnesty International sekitar 92 negara dari seluruh wilayah di dunia telah menghapuskan hukuman mati bagi semua jenis tindak kejahatan. Sementara itu, 10 negara juga telah menghapuskan hukuman mati kecuali bagi tindak kejahatan tertentu. Sementara itu masih terdapat sekitar 33 negara lainnya yang dianggap sebagai kelompok abolisionist de facto, karena meskipun masih mempertahankan hukuman mati dalam peraturan perundang-undangannya namun sejak 10 tahun terakhir atau lebih tidak pernah melaksanakan hukuman mati tersebut dalam peradilannya. Dengan demikian, jumlah keseluruhan negara yang menghapuskan hukuman mati baik dalam peraturan perundang-undangannya atau dalam prakteknya menjadi sekitar 135 negara. Sedangkan jumlah negara-negara yang masih menganut hukuman mati sampai saat ini tercatat sebanyak 62 negara.
Negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati bagi semua jenis tindak kejahatan yaitu: Albania, Andorra, Angola, Armenia, Australia, Austria, Azerbaijan, Belgium, Bhutan, Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, Cambodia, Canada, Cape Verde, Colombia, Cook Islands, Costa Rica, Cote D'Ivoire, Croatia, Cyprus, Czech Republic, Denmark, Djibouti, Dominican Republic, Ecuador, Estonia, Finland, France, Georgia, Germany, Greece, Guinea-Bissau, Haiti, Honduras, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Kiribati, Liberia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Macedonia (Former Yugoslav Republic), Malta, Marshall Islands, Mauritius, Mexico, Micronesia (Federated States), Moldova, Monaco, Montenegro, Mozambique, Namibia, Nepal, Netherlands, New Zealand, Nicaragua, Niue, Norway, Palau, Panama, Paraguay, Philippines, Poland, Portugal, Romania, Rwanda, Samoa, San Marino, Sao Tome And Principe, Senegal, Serbia, Seychelles, Slovakia, Slovenia, Solomon Islands, South Africa, Spain, Sweden, Switzerland, Timor-Leste, Turkey, Turkmenistan, Tuvalu, Ukraine, United Kingdom, Uruguay, Uzbekistan, Vanuatu, Vatican City State, Venezuela.
Sedangkan negara-negara yang menghapuskan hukuman mati kecuali bagi kejahatan-kejahatan tertentu yaitu Argentina, Bolivia, Brazil, Chile, El Salvador, Fiji, Israel, Kyrgyzstan, Latvia, Peru.
Negara-negara yang masih mencantumkan hukuman mati dalam sistem hukumnya tetapi tidak pernah dipergunakan dalam praktek peradilan di negaranya yaitu Algeria, Benin, Brunei Darussalam, Burkina Faso, Central African Republic, Congo (Republic), Eritrea, Gabon, Gambia, Ghana, Grenada, Kenya, Korea (South), Laos, Madagascar, Malawi, Maldives, Mali, Mauritania, Morocco, Myanmar, Nauru, Niger, Papua New Guinea, Russian Federation, Sri Lanka, Suriname, Swaziland, Tanzania, Togo, Tonga, Tunisia, Zambia.
Negara-negara yang masih mempertahankan dan melaksanakan hukuman mati adalah Afghanistan, Antigua and Barbuda, Bahamas, Bahrain, Bangladesh, Barbados, Belarus, Belize, Botswana, Burundi, Cameroon, Chad, China, Comoros, Congo (Democratic Republic), Cuba, Dominica, Egypt, Equatorial Guinea, Ethiopia, Guatemala, Guinea, Guyana, India, Indonesia, Iran, Iraq, Jamaica, Japan, Jordan, Kazakhstan, Korea (North), Kuwait, Lebanon, Lesotho, Libya, Malaysia, Mongolia, Nigeria, Oman, Pakistan, Palestinian Authority, Qatar, Saint Christopher & Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent & Grenadines, Saudi Arabia, Sierra Leone, Singapore, Somalia, Sudan, Syria, Taiwan, Tajikistan, Thailand, Trinidad And Tobago, Uganda, United Arab Emirates, United States Of America, Viet Nam, Yemen, Zimbabwe.
Tata cara yang masih dipraktikkan di dunia untuk menghukum mati terpidana adalah :
1. Digantung (hanging)
Berlaku di beberapa Negara Timur Tengah seperti Jordan, Irak, Iran, Negara-negara asia seperti India, Malaysia, Singapura, Jepang. Di Negara Amerika Serikat terdapat hanya di dua negara bagian saja yang menjadikan hukuman gantung sebagai opsi cara menghukum mati, yaitu Negara Bagian Washington dan New Hampshire, dan masih banyak lagi dipraktikkan di negara-negara lain;
2. Dipenggal pada leher (decapitation)
Berlaku di beberapa Negara Timur Tengah antara lain di Arab Saudi, Iran, Qatar, dan Yaman;
3. Ditembak (shooting)
Berlaku antara lain di Negara Libya, Palestina, Yaman, Afghanistan, Vietnam, Republik Rakyat China, Taiwan, Indonesia dan beberapa negara lainnya. Tembakan dilakukan pada kepala bagian belakang atau leher, atau jantung terpidana;
4. Strum listrik (electrocution atau the electric chair)
Berlaku sebagai suatu opsi hukuman mati di Amerika Serikat untuk beberapa negara bagian saja, yaitu Alabama, Florida, South Carolina, Kentucky, Tennessee dan Virginia;
5. Ruang gas (gas chamber)
Berlaku di Amerika Serikat untuk beberapa negara bagian, yaitu Colorado, Nevada, Missisippi, New Mexico, North Carolina dan Oregon, serta menjadi cara alternatif menghukum mati di beberapa negara bagian lainnya;
6. Suntik Mati (lethal injection)
Metode hukuman ini mulai dikenal pada abad 20 yang ditemukan dan dikembangkan oleh Negara Amerika Serikat, diterima oleh lebih dari 30 negara bagiannya. Cara ini juga mulai dianut oleh RRC (1997), Guatemala (1950, Philipina (1999), Thailand (2003), dan Taiwan (2005);

Tinjauan Hak Asasi Manusia Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;

Pada dasarnya menurut ketentuan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dilepaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Oleh karena itu, negara Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk melindungi dan memajukan serta mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia.
Perwujudan hak asasi berdasarkan UU39/1999 ini terwujud dalam berbagai hak asasi, yang antara lain:
1. Hak untuk hidup;
2. Hak untuk tidak disiksa,
3. Hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani;
4. Hak beragama;
5. Hak untuk tidak diperbudak;
6. hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum; dan
7. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Hak-hak tersebut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Yang dimaksud dengan "dalam keadaan apapun" termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat. Yang dimaksud dengan "siapapun" adalah Negara, Pemerintah dan atau anggota masyarakat. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas. Hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun. Setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban dasar. Hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk itu pemerintah, aparatur negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia.
Materi hukum yang terdapat dalam undang-undang ini adalah menjamin hak-hak dasar setiap manusia dengan membebankan kewajiban-kewajiban dasar kepada setiap manusia itu sendiri.
Dalam Pasal 9 ayat i Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup......”. Namun disini terdapat pembatasan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.

Tinjauan Hak Asasi Manusia Menurut Undang-Undang Dasar 1945;

Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) menjamin Hak Asasi manusia dalam kapasitasnya sebagai peraturan dasar dan pucak tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Sehingga kebenaran yang terkandung dalam UUD’45 adalah kebenaran yang General dan Absolut. Kebenaran tersebut merupkan sebuah bentuk manifestasi perlindungan segenap rakyat Indonesia, sehingga disini negara mempunyai “kewjiban’ untuk menegakan dan mewujudkan kebenaran yang terdapat di dalam UUD’45.
Setiap ketentuan dan peraturan baik dibawah UUD’45, baik yang berbentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undng maupun Peraturan Daerah sekalipun, tidaklah boleh bertentangan dengan UUD’45.
Ketentuan hak untuk hidup diatur dalam UUD’45 Perubahan Kedua Pasal 28A Juncto Pasal 28I, yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Makna yang tersirat dari “setiap orang” dalam pengertian pasal tersebut adalah tidak terdapat pengecualian, apakah orang itu orang baik ataupun orang jahat (terpidana kasus kejahatan misalnya). Dengan demikian batasan keadilan yang umum dan menyeluruh inilah yang menjadi patokan dasar dalam pelaksanaan hak untuk hidup setiap orang.
Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir tunggal UUD’45 dan sebagai lembaga yang memberikan keadilan konstitusional, beberapa waktu lalu telah menjatuhkan putusan terhadap gugatan yang diajukan oleh Kuasa Hukum para Terpidana mati kasus Bom Bali. Kuasa hukum terpidana mati kasus Bom Bali mengajukan uji materiil (materiele toetsingrecht) terhadap Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang “Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang”.
Bahwa ketentuan hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa inilah yang menjadi dasar oleh para kuasa hukum terpidana kasus Bom Bali untuk mengajukan uji materiil. Namun dalam konklusinya pada diktum 4.2., Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa “rasa sakit yang dialami oleh terpidana mati merupakan konsekuensi logis yang melekat dalam proses kematian sebagai akibat pelaksanaan pidana mati terhadap terpidana sesuai dengan tata cara yang berlaku, sehingga tidak termasuk kategori penyiksaan terhadap diri terpidana mati”.
Kuasa pemohon dalam permohonannya mengajukan tidak hanya mengajukan uji materiil, tetapi pula uji formil, yakni apakah dalam penerbitannya ketentuan Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati sudah sesuai prosedur ataukah belum? Kuasa pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Juncto UU Nomor 5 Tahun 1969 tersebut merupakan undang-undang yang pembentukannya didasarkan atas penetapan presiden. Terlebih lagi, pada kala itu yang pengesahannya dilakukan oleh Presiden dengan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
Kuasa pemohon mempermasalahkan mengenai kedudukan DPR-GR yang mana bukan merupakan lembaga perwakilan rakyat sebagaimana dimaksud dalam UUD’45, karena DPR-GR dibentuk atas dasar Penetapan Presiden dan anggotanya juga diangkat oleh Presiden. Bahwa anggota lembaga perwakilan rayat berdasarkan UUD’45 Pasal 19 dipilih melalui pemilihan umum. Sehingga undang-undang a quo tersebut dalam kekuatan hukumnya dipermasalahkan oleh kuasa hukum pemohon.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dari bentuk hukumnya, memang benar UU 2/Pnps/1964 semula Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang tidak dikenal dalam UUD 1945, karena UUD 1945 memang tidak mengatur produk hukum dengan nama Penetapan Presiden, namun hal tersebut telah dikoreksi dengan UU 5/1969 atas perintah Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 dan Ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968. Kedua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tersebut berisi perintah untuk melakukan peninjauan kembali terhadap status hukum atas Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden. Konsiderans UU 5/1969 berbunyi, “bahwa dalam rangka pemurnian produk-produk legislatif yang berbentuk Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang telah dikeluarkan sejak tanggal 5 Juli 1959” dan “bahwa Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang materinya sesuai dengan suara hati nurani rakyat perlu dinyatakan sebagai Undang-undang”. Oleh karena itu, dengan UU 5/1969, Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 termasuk Penetapan Presiden (Penpres) yang dinyatakan sebagai undang-undang, yaitu menjadi UU 2/Pnps/1964, sehingga bentuk hukumnya sudah sesuai dengan UUD 1945. Kata “Pnps” sekedar sebagai tanda bahwa undang-undang dimaksud berasal dari Penetapan Presiden. Dinyatakannya beberapa Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden, termasuk Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 menjadi undang-undang, menunjukkan bahwa isinya masih sesuai dengan aspirasi rakyat karena merupakan pembaruan terhadap ketentuan Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
Dalam hal ini memang tidak disebutkan secara eksplisit tentang pencabutan Pasal 11 KUHP yang mengatur mengenai ketentuan bagaimana eksekusi mati dilaksanakan. Maka disini kuasa pemohon memasukannya didalam dalil-dalil gugatannya yang mana terjadi kontradiksi mengenai pelaksanaan eksekusi mati. Di satu sisi berdasarkan Pasal 11 KUHP, menetapkan bahwa eksekusi mati dilaksanakan dengan digantung sampai mati. Namun disisi lain berdasarkan ketentuan UU 2/Pnps/1964 Juncto UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang pelaksanaan hukuman mati menetapkan bahwa eksekusi mati dilaksanakan dengan ditembak sampai mati.
Disini berlaku asas (lex posteriori derogat legi priori), maka jika terjadi norma hukum lama dan kemudian terbit norma hukum baru yang kedudukannya sederajat yang memuat substansi yang sama atau menyempurnakan (memperbaiki) dan tidak memuat norma yang bertentangan, maka berlakulah norma hukum yang baru (dalam hal ini UU 2/Pnps/1964).
Dengan demikian UU 2/Pnps/1964 yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU 5/1969 telah sesuai dengan semangat pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD 1945.

Relevansi eksekusi Pidana Mati Dengan Hak asasi Manusia;

Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada diri manusia yang diperkuat dengan adanya perlindungan hukum. Namun, bila dilihat dari segi hukum, hak dan kewjiban secara individual selalu berkonotasi dengan hak dan kewajiban individu anggota masyarakat lain. Di samping itu, karena hukum tidak hanya mengatur hubungan ntar individu didalam pergaulan masyarakat sebagai salah satu kesatuan komunitas. Maka Hak Asasi Manusia (HAM) secara individual berkonotasi pula dengan HAM sebagai kesatuan komunitas. Jadi, HAM pada hakekatnya mengandung 2 wajah atau bisa pula mengandung 2 pengertian, yaitu HAM dalam arti “Hak Asasi Manusia” dan HAM dalam arti “Hak Asasi Masyarakat”. Inilah dua aspek yang merupakan karakteristik dan sekaligus identitas hukum, yaitu aspek kemanusiaan dan aspek kemasyarakatan.
Kedua definisi mengenai HAM tersebut-lah yang menjadi kacau serta membingungkan. Dalam kasus terpidana mati Bom Bali, terjadi perdebatan, apakah HAM dari para terdakwa yang harus dilindungi, ataukah perwujudan HAM atas korban serta keluarga korban yang juga harus diupayakan perwujudannya dengan cara hukuman mati?
Negara sebagai pelaksana kekuasaan, tentunya akan selalu mewujudkan keadilan yang menyeluruh serta holistic. Keadilan yang menyeluruh serta general tersebut terwujud dalam pengupayaan eksekusi mati terpidana kasus Bom Bali. Disinilah tanggung jawab dan kewajiban sebuah Negara dalam pengupayaan keadilan HAM yang holistic dan general.
Walaupun hak hidup dibatasi, tetapi bukan berarti seseorang dengan mudah dapat dijatuhi hukuman pidana mati karena karena hak untuk hidup ini diberikan langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia sebagai mahluknya. Oleh karena itu, setiap orang berhak untuk mepertahankan / mebela diri terhadap setiap ancaman atau serangan yang tertuju pada keselamatan jiwanya. Hak hidup merupakan hak asasi manusia yang paling hakiki, maka perampasan nyawa oleh orang lain (berupa pembinuhan) atau oleh negara (berupa penjatuhan pidana mati) pada hakekatnya merupakan pelanggaran HAM apabila dilakukan secara sewenang-wenang tanpa adanya alasan pembenar yang sah menurut hukum yang berlaku.
Adapun salah satu fungsi dari hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hak perorangan individual (individuale belangen) dan hak masyarakat (kepentingan umum), misalnya kepentingan-kepentingan hukum menyangkut terhadap kepentingan hak hidup (nyawa). Kepentingan hukum atas tbuh, kepentingan hukum atas hak milik benda, kepentingan hukum atas harga diri dan nama baik seseorang, kepentingan hukum atas rasa susila, dan lain sebagainya.
Alat atau upaya untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi kepentingan hukum pidana adalah dengan suatu sanksi yang keras dan kejam. Hal tersebut berguna untuk membuat takut para pelanggarnya. Kerasnya sanksi pidana itu dibandingkan dengan sanksi hukum selain pidana, tidak saja dapat dilihat dari cara prosedur untuk menjatuhkan, tetapi dari jenis-jenisnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 KUHP, misalnya pidana yang terberat adalah pidana mati, yang pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak pribadi (bahkan sangat pribadi) yang tiada tara harga dan nilainya juga tidak dapat dinilai dengan apapun. Padahal hak itu dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri. Oleh sebab itu, dapat dianggap bahwa Negara dalam menjalankan hukuman pidana (untuk pidana materiil) tidak lain adalah dengan melanggar hukum pidana itu sendiri. Negara menjalankan vonis pidana Pasal 340 KUHP terhadap pelaku tindak pidana dengan pidana mati. Dengan tindakan ini, Negara telah melanggar hak hidup seseorang yang justru dilindungi oleh hukum pidana sebagaimana dituangkan dalam Pasal 340 KUHP. Inilah keistimewaan hukum pidana jika dibandingkan dengan huum lainnya, maka dari itu hukum pidana disebut dengan hukum dengan sanski istimewa.
Sebetulnya pembentuk UU pada saat itu telah menyadari akan sifat pidana mati sebagaimana yang telah diuraikan tersebut. Oleh karena itulah, walaupun pidana mati telah dicantumkan dalam UU, namun harus dipandang sebagai tindakan darurat atau noodrecht. Maksudnya tiada lain agar pidana mati hanya dijatuhkan pada keadaan-keadaan tertentu yang khususnya dipandang sangat mendesak saja. Oleh karena itu dalam KUHP, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati hanyalah pada kejahatan-kejahatan yang dipandang sangat berat saja yang jumlahnya juga sangat terbatas, seperti:
Macam-macam kejahatan yang dipandang berat dan diancam dengan pidana mati, antara lain:
a) Kejahatan yang mengancam keamanan Negara (Pasal 104, Pasal 111 ayat 2, Pasal 124 ayat 3 Juncto 129 KUHP);
b) Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberatan (Pasal 140 ayat 3, Pasal 340 KUHP)
c) Kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsur/faktor yang sangat memberatkan (Pasal 365 ayat 4, 368 ayat 2 KUHP);
d) Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai (Pasal 444 KUHP).
Tabel perundang-undangan RI yang memuat ketentuan ancaman hukuman mati
No. Judul Undang-Undang Keterangan
1. KUHP 1. Makar;
2. Mengajak atau menghasut negara lain untuk menyerang RI;
3. Membunuh Kepala Negara sahabat;
4. Pembunuhan berencana;
5. Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan pada waktu malam dengan merusak rumah yang mengakibatkan orang luka berat atau mati;
6. Pembajakan di laut, di tepi laut, di sungai sehingga ada orang yang mati;
7. Menganjurkan pemberontakan atau huru hara pada buruh terhadap perusahan pertahanan negara waktu perang;
8. Pemerasan dengan kekerasan.
2. UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Senjata api
3. Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1959 Wewenang Jaksa Agung / Jaksa Tentara Agung dalam hal memperberat ancaman hukuman mati terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan sandang pangan
4. Perpu Nomor 21 Tahun 1959 Memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi
5. UU Nomor 11/PNPS/1963 Pemberantasan kegiatan subversif
6. UU Nomor 4 Tahun 1976 Perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam KUHP bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana kejahatan perkembangan dan kejahtan penerbangan kejahatan terhadap sarana / pra sarana penerbangan
7. UU Nomor 5 Tahun 1997 Psikotropika
8. UU Nomor 22 Tahun 1997 Narkotika
9. UU Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Korupsi
10. UU Nomor 26 Tahun 2000 Pengadilan HAM
11. UU Nomor 15 Tahun 2003 Pemberantasan tindak pidana terorisme
Sumber: Litbang Kontras
Dengan mengakui hak hidup sebagai hak yang sangat asasi, berarti perampasan hak hidup seseorang itu sekiranya terpaksa dilakukan, pada hakekatnya suatu perkecualian. Ini berarti, dilihat-lihat dari sudut hukum pidana, sejauh mungkin pidana mati harus dihindari. Sekiranya terpaksa dijatuhkan harus sudah melewati prosedur yang sangat ketat. Prosedur atau tahap-tahap yang ketat itu, antara lain dapat dijatuhkan untuk delik-delik tertentu yang dipandang sangat jahat atau sangat serius diberikan hak untuk meminta pengampunan, peringanan, penundaan atau perubahan/penggantian pidana mati setelah melewati masa percobaan.
Sebagaimana yang dirumuskan dalam Rancangan KUHP
a. Pidana mati dilaksanakan oleh regu tembak dengan menembak terpidana sampai mati;
b. Pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan dimuka umum;
c. Pidana mati tidak dijalankan atau dijatuhkan kepada anak dibawah umur delapan belas tahun;
d. Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang sakit jiwa dan hal itu ditunda sampai wanita atau orang sakit jiwa tersebut telah dinyatakan sembuh oleh dokter;
e. Pidana mati hanya dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan Presiden atau penolakan grasi oleh Presiden.
f. Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun:
1. Reaksi masyarakat terhadap terpidana mati itu tidak terlalu besar;
2. Terpidana menunjukan rasa menyesal dan ada harapan untuk memperbaiki sifat dan kelakuannya;
3. Kedudukan terpidana dalam penyertaan tidak terlalu penting; dan
4. Adanya alasan pemaaf.
g. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan keputusan Menteri Kehakiman;
h. Jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukan sikap dan perbuatan yang tidak terpuji serta tidak adanya harapan untuk memperbaiki maka pidana mati akan dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung;
i. Jika setelah permohonan grasi ditolak, pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Menteri Kehakiman.

Tata Cara Untuk Pemberian Asimilasi

Bahwa wewenang untuk pemberian Hak Asimilasi bagi narapidana maupun anak didik pemasyarakatan adalah ada pada Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia.
Tata cara untuk pemberian asimilasi adalah dengan usulan dari Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) LAPAS. Usulan tersebut diajukan kepada Kepala LAPAS. Atas usulan tersebut, kemudian Kepala LAPAS memutuskan apakah akan menyetujui usulan tersebut ataukah tidak. Hasil persetujuan atas usulan TPP tersebut diterbitkan dalam bentuk Surat Keputusan yang ditandatangani oleh Kepala LAPAS atas nama Menteri Hukum dan HAM.
Lamanya narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang menjalankan asimilasi diluar LAPAS adalah sebagai berikut:
a. untuk kegiatan pendidikan, bimbingan kerja dan latihan keterampilan disesuaikan dengan waktu yang dipergunakan;
b. untuk kegiatan kerja pada pihak ketiga atau kerja mandiri disesuaikan dengan waktu yang dipergunakan ditempat kerja paling lama 9 (Sembilan) jam sehari termasuk waktu diperjalanan.
Pada dasarnya setiap orang berhak untuk mendapatkan asimilasi. Asimilasi dapat diperoleh oleh seorang narapidana apabila ia diminta oleh pihak ketiga (misalnya: perusahaan swasta) karena dibutuhkan tenaganya untuk dipekerjakan sebagaimana pekerja pada umumnya. Jadi prosedurnya ialah, sebuah perusahaan mengajukan terlebih dahulu kepada Lemabaga Pemasyarakatan (LP) untuk meminta mengasimilasikan kepada salah seorang narapidana. Kemudian Kepala LAPAS atas permohonan meng-asimilasikan salah seorang narapidana tersebut memberikan persetujuan yang mana berdasarkan pertimbangan dari pihak TPP LAPAS sebelumnya.
Narapidana yang diasimilasi tersebut diperkerjakan diluar tembok lembaga pemasayarakatan pada waktu pagi hari dan kemudian pulang pada sore harinya. Dalam hal ini narapidana tersebut tidak sendirian ketika menjalani asimilasinya, narapidana tersebut dikawal oleh orang dari Lembaga Pemasyarakatan dimana dirinya menjalani penjara, serta seorang dari Badan Pemasyarakatan (BAPAS). Sedangkan tanggung jawab keamanan selama menjalani proses asimilasi tersebut adalah ada pada Kepala LAPAS.
Bahwa segmentasi pekerjaan yang diberikan narapidana dengan asimilasi, rata-rata adalah tenaga ahli. Jadi misalnya, ada sebuah perusahaan yang mana dulunya mempunyai tenaga ahli, namun kemudian tenaga ahlinya tersebut berada didalam LAPAS karena melakukan suatu tindak pidana, maka perusahaan tempat asal narapidana tersebut yang memohonkan untuk mengasimilasikan narapidana tersebut.
Tenaga-tenaga ahli tersebut bermacam-macam, dari yang berprofesi sebagai dokter, dokter hewan, ahli dibidang perikanan, peternakan, pertanian dan lain sebagainya.
Pemberian asimilasi disini tidak serta merta mutlak dapat diberikan bagi setiap narapidana. Terdapat pengecualian terhadap pemberian asimilasi, antara lain adalah untuk narapidana yang melakukan tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP), tindak pidana korupsi, narkoba, kejahatan terhadap keamanan Negara, kejahatan Hak Asasi Manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya. BAgi narapidana yang memperoleh hukuman mati serta hukuman penjara seumur hidup juga tidak memperoleh hak asimilasi ini.

Syarat-Syarat Untuk memperoleh Hak Asimilasi, Pembebasan Bersarat, Cuti Menjelang Bebas, Cuti Bersyarat

Dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat menerangkan bahwa setiap narapidana dapat diberi Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, apabila telah memenuhi persyaratan substantif dan administratif.
Adapun dalam penjelasan pasal selanjutnya mengenai uraian-uraian syarat substansif yang harus dipenuhi adalah antara lain:
a. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana;
b. Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif;
c. Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat;
d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan;
e. Berkelakuan baik selama menjalani pidana dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin untuk:
1. Asimilasi sekurang-kurangnya dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir;
2. Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas sekurang-kurangnya dalam waktu 9 (sembilan) bulan terakhir; dan
3. Cuti Bersyarat sekurang-kurangnya dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir;
f. Masa pidana yang telah dijalani untuk :
1. Asimilasi, 1/2 (setengah) dari masa pidananya;
2. Pembebasan Bersyarat, 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan;
3. Cuti Menjelang Bebas, 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling lama 6 (enam) bulan;
4. Cuti Bersyarat, 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya dan jangka waktu cuti paling lama 3 (tiga) bulan dengan ketentuan apabila selama menjalani cuti melakukan tindak pidana baru maka selama di luar LAPAS tidak dihitung sebagai masa menjalani pidana;
Selanjutnya dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007 menjelaskan mengenai syarat administratif yang harus dipenuhi guna memperoleh hak asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat, yang antara lain yakni:
a. Kutipan putusan hakim (ekstrak vonis);
b. Laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau laporan perkembangan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang dibuat oleh Wali Pemasyarakatan;
c. Surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang bersangkutan;
d. Salinan register F (daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan selama menjalani masa pidana) dari Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN;
e. Salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi, remisi, dan lain-lain dari Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN;
f. Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan, seperti pihak keluarga, sekolah, instansi Pemerintah atau swasta dengan diketahui oleh Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala desa;
g. Bagi Narapidana atau Anak Pidana warga negara asing diperlukan syarat tambahan :
1. surat jaminan dari Kedutaan Besar/Konsulat negara orang asing yang bersangkutan bahwa Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan tidak melarikan diri atau mentaati syarat-syarat selama menjalani Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, atau Cuti Bersyarat;
2. surat keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat mengenai status keimigrasian yang bersangkutan.
Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat dapat dicabut apabila Narapidana atau Anak Didik Pemayarakatan:
a. mengulangi tindak pidana;
b. menimbulkan keresahan dalam masyarakat; dan/atau
c. melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat.
Pencabutan tersebut dilakukan oleh Kepala LAPAS, karena proses pembinaan asimilasi adalah sepenuhnya tanggung jawab Kepala LAPAS. Untuk narapidana yang dicabut asimilasinya, dikemudian hari akan sulit untuk mendapatkan kemudahan selama ia menjalani hukuman di penjara, misalnya
a. Untuk tahun pertama setelah dilakukan pencabutan tidak dapat diberi remisi; dan
b. Untuk pencabutan kedua kalinya selama menjalani masa pidananya tidak dapat diberikan asimilasi kembali.

Upaya-Upaya Yang Dilakukan Warga Binaan Guna Mendapatkan Hak Asimilasi

Dalam pemberian asimilasi, Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dalam hal ini sebagai bagian daripada integrated criminal justice system di tingkatan paling akhir mempunyai peran penting dalam menentukan apakah seseorang tersebut berhak mendapatkan hak asimilasi ataukah tidak.
Asimilasi merupakan proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan atau narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka kedalam kehidupan masyarakat.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan menegaskan tentang kewajiban Kepala Lembaga Pemasyarakatan (KALAPAS) untuk melaksanakan kegiatan pembinaan narapidana. Peran penting KALAPAS adalah mewujudkan pembinaan narapidana dengan dibaurkan kepada masyarakat dan diarahkan pada kemampuan narapidana untuk berintegrasi secara sehat dengan masyarakat.
Asimilasi dilaksanakan sesuai dengan asas-asas dalam penyelenggaraan tugas umum pemerintah dan pembangunan serta berdasarkan asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Hak Asimilasi dapat diberikan kepada narapidana dan anak didik pemasyarakatan apabila telah memenuhi persyaratan substansif dan administrative. Adapun macam-macam bentuk hak asimilasi, antara lain adalah :
a. Kegiatan Pendidikan adalah meliputi pendidikan formal dan non-formal;
b. Bimbingan Kerja adalah meliputi kebersihan lingkungan, kerja bakti, pertanian, peternakan;
c. Latihan Keterampilan meliputi pelatihan keterampilan yang dilaksanakan oleh pihak LAPAS atau pihak lainnya;
d. Kerja Pihak Ketiga adalah bekerja pada instansi pemerintah ataupun swasta;
e. Kerja Mandiri meliputi tukang cukur, binatu, bengkel, tukang, montir, dan lain sebagainya
Sebagian besar Lembaga Pemasyarakatan yang dimiliki oleh Negara kita sudah tidak layak huni. Dalam artian bahwa banyak diantara LAPAS tersebut sudah melebihi kapasitas. Dalam hal ini pemerintah menjadi semakin bingung karena dari waktu ke waktu jumlah penghuni yang ada di LAPAS semakin bertambah. Dan tentunya akan membuat biaya hidup narapidana yang dibebankan kepada Negara akan semakib membengkak tentunya.
Asimilasi adalah sebagai salah satu bentuk diskresi yang terdapat pada Lembaga Pemasyarakatan. Kita tahu bahwa Lembaga Pemasyarakatan merupakan tingkatan terakhir pada sitem peradilan pidana terpadu yang terdapat dinegara kita atau yang lazim disebut integrated criminal justice system.
Dengan adanya diskresi ini tentunya akan dapat meringankan beban Negara dengan membuat para narapidana menjadi pribadi yang mandiri. Bisa dibayangkan apabila sebagian besar narapidana di Indonesia mendapatkan asimilasi, tentunya akan meringankan biaya hidup narapidana itu sendiri yang mana ditanggung oleh Negara.

Ruang Lingkup Hak Asimilasi

Dalam Pasal 14 ayat (1) huruf (j) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menjelaskan bahwa warga binaan pemasyarakatan berhak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga. Pengertian asimilasi secara definitive diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan Juncto Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat.

Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas, serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Sistem pemasyarakatan tersebut diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Bertitik tolak dari pemahaman sistem pemasyarakatan dan penyelenggaraannya, program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan oleh BAPAS ditekankan pada kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan kemandirian.
Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar Warga Binaan Pemasyarakatan dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Berikut ini beberapa istilah yang menjadi ruang lingkup Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari system pemidanaan dalam tata peradilan pidana;
2. Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab;
3. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan;
4. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan;
5. Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan;
6. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
7. Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS.
8. Anak Didik Pemasyarakatan adalah :
a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Kegiatan asimilasi mempunyai arti penting bagi narapidana untuk memperoleh perubahan sikap tentang apa sesungguhnya menjalani pidana penjara itu, kerena tempat dibelakang tembok itu berkumpul bermacam-macam watak. Dalam proses asimilasi tidak dapat diabaikan kondisi lingkungan hidup dan perubahan masyarakat,sehingga menuntut kemampuan para petugas untuk menciptakan ramalan-ramalan agar pelaksanaan setiap putusan diambil dengan tepat dan seirama dengan situasi yang terus berkembang. Tahap asimilasi lebih tepat disebut sebagai tahap pembinaan masyarakat.
Bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Maksud daripada manusia seutuhnya disini ialah upaya untuk memulihkan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kepada fitrahnya dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya. Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Pengayoman; Yang dimaksud dengan pengayoman adalah perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.
b. Persamaan perlakuan dan pelayanan; Yang dimaksud dengan persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.
c. Pendidikan; Yang dimaksud dengan pendidikan adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.
d. Pembimbingan; Yang dimaksud dengan pembimbingan adalah bahwa penyelenggaraan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.
e. Penghormatan harkat dan martabat manusia; Yang dimaksud dengan penghormatan harkat dan martabat manusia adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia.
f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; Yang dimaksud dengan kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan adalah Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di LAPAS, Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga, atau rekreasi.
g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu; Yang dimaksud dengan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu adalah bahwa walaupun Warga Binaan Pemasyarakatan berada di LAPAS, tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam LAPAS dari anggota masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.
Sebagian besar Lembaga Pemasyarakatan yang dimiliki oleh Negara kita sudah tidak layak huni. Dalam artian bahwa banyak diantara LAPAS tersebut sudah melebihi kapasitas. Dalam hal ini pemerintah menjadi semakin bingung karena dari waktu ke waktu jumlah penghuni yang ada di LAPAS semakin bertambah. Dan tentunya akan membuat biaya hidup narapidana yang dibebankan kepada Negara akan semakib membengkak tentunya.
Asimilasi adalah sebagai salah satu bentuk diskresi yang terdapat pada Lembaga Pemasyarakatan. Kita tahu bahwa Lembaga Pemasyarakatan merupakan tingkatan terakhir pada sitem peradilan pidana terpadu yang terdapat dinegara kita atau yang lazim disebut integrated criminal justice system.
Dengan adanya diskresi ini tentunya akan dapat meringankan beban Negara dengan membuat para narapidana menjadi pribadi yang mandiri. Bisa dibayangkan apabila sebagian besar narapidana di Indonesia mendapatkan asimilasi, tentunya akan meringankan biaya hidup narapidana itu sendiri yang mana ditanggung oleh Negara.

Tinjauan Umum Hak Asimilasi Dan Lembaga Pemasyarakatan

Dalam system pemasyarakatan, pidana dimaksudkan sebagai pembinaan terhadap narapidana agar narapidana tidak dipandang sebagai manusia yang betul-betul jahat, tetapi dipandang sebagai manusia yang menderita yang perlu dibina. Narapidana bukan saja objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat dikenakan pidananya. Oleh karena itu, praktek pemasyarakatan harus dilaksanakan dengan pemikiran baru dan mencerminkan nilai-nilai yang terkandung diddalam pancasila.
Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyrakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Sistem perlakuan atau pembinaan terhadap pelaku narapidana di Indonesia, terbagi atas tiga bagian, yaitu:
1. system kepenjaraan yang bertujuan untuk penjeraan;
2. Sistem pemasyarakatan yang bertujuan untuk pembinaan dan pembimbingan;
3. Sistem pemasyarakatan baru, diperoleh sebagai pembanding yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan dari dua system sebelumnya, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran.
Bahwa pemidanaan ditujukan terhadap pribadi orang yang melakukan pidana. Hukuman atau sanksi yang dianut hukum pidana membedakan hukum pidana dengan bagian hukum yang lain. Hukuman dalam hukum pidana ditujukan untuk memelihara keamanan dan pergaulan hidup yang benar. Sehingga disini
“tujuan pidana” merupakan bagian integral (sub-sistem) dari keseluruhan sistem pemidanaan (sistem hukum pidana) di samping sub-sistem lainnya, yaitu sub-sistem “tindak pidana”, “pertanggungjawaban pidana (kesalahan)”, dan “pidana”.
Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus mem-berikan dasar/landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan.
Dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebijakan legislatif), tahap “aplikasi” (kebijakan judisial/judikatif), dan tahap “eksekusi” (kebijakan administratif/eksekutif); oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan atara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.
Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam Konsep RUU KUHP, dilatarbelakangi oleh berbagai ide dasar atau prinsip-prinsip sbb. :
a. ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat (umum) dan kepentingan individu;
b. ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defen-ce”;
c. ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku/ “offender” (individualisasi pidana) dan “victim” (korban);
d. ide penggunaan “double track system” (antara pidana/punishment dengan tindakan/treatment/measures);
e. ide mengefektifkan “non custodial measures (alternatives to imprisonment)”.
f. ide elastisitas/fleksibilitas pemidanaan (“elasticity/flexibility of sentencing”);
g. ide modifikasi/perubahan/penyesuaian pidana (“modification of sanction”; the alteration/annulment/revocation of sanction”; “re-determining of punishment”);
h. ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana;
i. ide permaafan hakim (“rechterlijk pardon”/”judicial pardon”);
j. ide mendahulukan/mengutamakan keadilan dari kepastian hu-kum;

Dalam ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur mengenai ketentuan hukuman, yang antara lain adalah sebagai berikut:
Pasal 10 KUHP : Pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. Pidana tambahan
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
Dengan demikian, hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan human selain yang dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP tersebut.
Untuk menjalankan system pemasyarakatan ini, harus memperhatikan prinsip-prinsip pokok yang menyangkut perlakuan terhadap narapidana, yang didasarkan pada Konfrensi dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Jawa Barat, tanggal 27 April 1964, yang antara lain:
1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranan sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna;
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam oleh negara. Ini berarti tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana, baik yang berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara perawatan atau penempatan. Satu-satunya derita yang dialami oleh narapidana hendaknya hanyalah dihilangkannya kemerdekaannya untuk bergerak dalam masyarakat bebas;
3. Berikan bimbingan, bukan penyiksaan, supaya mereka bertobat. Berikan kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, dan sertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatannya;
4. Negara tidak berhak untuk membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelumnya dijatuhi pidana, missal dengan mencampurbaurkan narapidana dan anak didik, yang melakukan tindak pidana berat dan yang melakukan tindak pidana yang ringan, dan sebagainya;
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Antara lain kontak dengan masyarakat dapat terjelma dalam bentuk kunjungan, hiburan kedalam lembaga pemasyarakatan dari anggota-anggota masyarakat bebas, dan kesempatan yang lebih banyak untuk berkumpul bersama sahabat dan keluarga;
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan jawatan atau kepentingan negara pada waktu-waktu tertentu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan yang terdapat di masyarakat, dan yang menunjang pembangunan seperti menunjang usaha produksi pangan;
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana harus berdasarkan Pancasila. Antara lain ini berarti kepada mereka harus ditanamkan jiwa kegotongroyongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaa,, disamping pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah agar memperoleh kekuatan spiritual;
8. Narapidana sebagari orang-orang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia. Martabatnya dan perasaannya sebagai manusia harus dihormati;
9. Narapidana hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaannya sebagai satu-satunya derita yang dapat dialaminya;
10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi, rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan.
Sistem pemasyarakatan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip, dan juga harus berdasarkan asas-asas sebagaimana asas-asas yang tercantum dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang antara lain:
1. Pengayoman;
2. Persamaan perlakuan dan pelayanan;
3. Pendidikan dan pembimbingan;
4. Penghormatan harkat dan martabat manusia;
5. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan;
6. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Pola pembinaan narapidana juga telah diatur pada peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, yang pelaksanaannya melalui beberapa tahap pembinaan. Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud terdiri atas 3 (tiga) tahap, yaitu:
1. Tahap awal
Pembinaan tahap awal bagi narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana. Pembinaan tahap awal meliputi:
a. Masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan paling lama 1 (satu) bulan;
b. Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian;
c. Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian;
d. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.
2. Tahap lanjutan
Pembinaan tahap lanjutan terdapat 2 (dua) tahap, yaitu tahap lanjutan pertama dan tahap lanjutan kedua yang meliputi:
a. Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ (satu per dua0 dari masa pidana;
b. Tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana.
Pembinaan tahap lanjutan juga diatur dalam Pasal 10, dimana hal-hal yang dilaksanakan dalam pembinaan ini meliputi:
a. Perencanaan program pembinaan lanjutan;
b. Pelaksanaan program pembinaan lanjutan;
c. penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan;
d. Perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.
3. Tahap akhir
Pembinaan tahap akhir dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan. Pembinaan tahap akhir meliputi:
a. Perencanaan program integrasi;
b. Pelaksanaan program integrasi;
c. Pengakhiran program pembinaan tahap akhir.
A.) Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga pemasyarakatan sebagai instansi terakhir didalam sistem peradilan pidana dan pelaksanaan putusan pengadilan, didalam kenyataannya tidak mempersoalkan apakah seseorang yang hendak direhabilitasi itu adalah seseorang yang benar-benar terbukti bersalah atau tidak. Bagi lembaga pemasyarakatan, tujuan pembinaan pelanggar hukum tidak semata-mata membalas tetapi juga perbaikan dimana falsafah pemidanaan di Indonesia pada intinya mengalami perubahan seperti apa yang terkandung dalam sistem pemasyarakatan yang memandang narapidana sebagai orang yang tersesat dan mempunyai waktu untuk bertaubat.
B.) Tujuan Pemidanaan
Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam memberiakn atau menjatuhkan pidana, maka didalam Konsep Rancangan Buku I Kitab Undang-undang Hukum pidana yang disusun pada tahun 1972 dirumuskan dalam Pasal2, yaitu:
1. Maksud dan Tujuan Pemidanaan ialah:
a. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat serta penduduk;
b. Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna;
c. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindakan pidana.
2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Dalam ususlan Rancangan Buku I Kitab Undang-undang hukum Pidana Tahun 1982/1983, tujuan pemberian pidana dirumuskan pada Pasal 3, sebagai berikut:
1. Pemidanaan bertujuan untuk:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Mengadakan koreksi terhadap pidana dengan demikian menjadikannya orang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Dalam Usulan penyempurnaan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 1993, dirumuskan dalam Pasal 51, sebagai berikut:
1. Pemidanaan bertujuan untuk:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikan orang yang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Tujuan pemidanaan atau tujuan pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, antara lain adalah:
1. Menjadi manusia seutuhnya;
2. Menyadari kesalahan;
3. Memperbaiki diri;
4. Tidak mengulangi tindak pidana;
5. dapat diterima dengan baik oleh masyarakat;
6. Berperan aktif dalam pembangunan; dan
7. Dapat hidup wajar dan layak sebagai wara yang baik dan bertanggung jawab.
C.) Teori-Teori Pemidanaan
Untuk mengetahui tujuan pemidanaan, dalam ilmu pengetahuan tentang hukum pidana terdapat empat teori-teori pemidanaan, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), teori gabungan atau teori campuran (vergening theorien), dan teori pembinaan. Empat teori pemidanaan dimaksud antara lain:
1. Teori Absolut atau teori Pembalasan (Vergeldings Theorien)
Dasar penjatuhan pidana menurut teori ini bertitik pangkal pada pembalasan. Dengan kata lain, menurut teori ini setiap kejahatan harus disertai dengan pidana. Pidana ini mutlak, artinya pidana tersebut merupakan suatu keharusan dan tidak boleh tidak, tidak ada istilah tawar menawar. Siapa yang melakukan kejahatan harus dipidana dengan tanpa melihat akibat-akibat apapun yang mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana. Dalam teori ini, kepuasan hatilah yang dikejar, sedangkan yang lain tidak. Teori pembalasan ini bisa terbagi atas dua macam, yaitu:
a. Teori pembalasan yang objektif, yang berorientasi pada pemenuhan dari perasaan dendam dikalangan masyarakat. Dalam hal ini tindakan si pembuat kejahatan harus dibalas dengan pidana yang merupakan suatu bencana atau kerugian yang seimbang dengan kesengsaraan yang diakibatkan oleh si pembuat kejahatan.
b. Teori pembalasan yang subjektif, yang berorientasi pada penjahatnya. Menurut teori ini kesalahan pembuat kejahatanlah yang harus mendapat balasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yang besar disebabkan oleh kesalahan yang ringan, maka si pembuat kejahatan sudah seharusnya dijatuhi pidana yang ringan.
Menurut teori ini, pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Pemidanaan menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkan – karenanya teori ini disebut juga sebagai teori proporsionalitas. Demi alasan itu pemidanaan dibenarkan secara moral.
Karl O. Christiansen mengidentifikasi lima cirri pokok dari teori retributive, yakni:
a. The purposes of punishment is just retribution (Tujuan pidana semata-mata hanyalah sebagai pembalasan);
b. Just retribution is the ultimate aim, and not in itself a means to any other aim, as for instance social welfare which from this point of view is without any significance whatsoever (pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakay);
c. moral guilt is the only qualification for punishment (kesalahan moral sebagai sau-satunya syarat untuk pemidanaan);
d. The penalty shall be proportional to the moral guilt of the offender (pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku);
e. punishment point into the past, it is pure reproach, and it purpose is not improve, correct, educate and resocialize the offender (pidana melihat kebelakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi pelaku).
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel theorien)
Teori ini bertitik tolak pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib dalam masyarakat. Yang menjadi tujuan adalah tata tertib masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib diperlukan pidana.
Menurut sifat tujuannya teori ini dapat dibagi menjadi 3 (tiga0 macam, antara lain yakni:
a. Bersifat menakut-nakuti;
b. Bersifat memperbaiki;
c. Bersifat membinasakan.
Adapun menurut sifat pencegahannya terdapat 2 (dua) macam, antara lain yakni:
a. Pencegahan umum;
b. pencegahan khusus.
Teori relative atau teori tujuan yang tertua adalah teori pencegahan umum. Dimana teori pencegahan umum ini yang tertua adalah teori menakut-nakuti. Menurut teori ini, bahwa untuk melindungi ketertiban umum (masyarakat) terhadap suatu tindak pidana maka pelaku yang tertangkap harus dijadikan contoh dengan pidana yang sedemikian rupa sehingga semua orang menjadi taubat karenanya.
Sedang teori relative yang lebih modern dikenal dengan teori pencegahan khusus. Teori ini berpandangan bahwa tujuan daripada pidana adalah untuk mencegah niat jahat dari si pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi pidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi.
Menurut Yong Ohoitimur Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seseorang penjahat, dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena si terpidana telah terbukti bersalah, melainkan karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban dan juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu, teori ini disebut juga sebagai teori konsekuensialisme.
Menurutnya juga terdapat 3 (tiga) bentuk teori tujuan yang mungkin saja tidak terlalu penting untuk membedakannya dari sudut pandang praktis, antara lain adalah:
a. Tujuan pemidanaan memberikan efek penjeraan dan penangkalan (deterrence). Penjeraan sebagai efek pemidanaan, menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama;
b. Pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggap pula pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada si terpidana. Ciri khas dari pandangan tersebut ialah pemidanaan merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar kembali berintegrasi dalam komunitas atau masyarakatnya secara wajar;
c. Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral. Setiap pemidanaan pada dasarnya menyatakan perbuatan terpidana adalah salah, tak dapat diterima oleh masyarakat dan bahwa terpidana telah bertindak melawan kewajibannya dalam masyarakat. Karena itu, dalam proses pemidanaan, se terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan atasnya.
Penjara atau lembaga pemasyarakatan dilukiskan sebagai tempat pendidikan moral, yaitu tempat refleksi-refleksi moral dan spiritual diadakan serta “penebusan dosa” terjadi.
Selanjutnya menurut Nigel Walker lebih senang menyebut teori relative (teori tujuan) sebagai reduktivisme karena dasar pembenarannya untuk mengurangi frekuensi serta jenis-jenis perilaku yang dilarang oleh hukum pidana.
3. Teori Gabungan atau Teori Campuran (Vergening Theorien)
Apabila ada dua pendapat yang saling berhadapan biasanya ada suatu pendapat yang berbeda ditengah. Demikian juga dalam teori hukum pidana ini, disamping adanya teori pembalasan dan teori tujuan ada pula teori ketiga yang disamping adanya unsur pembalasan juga mengakui unsur memperbaiki pelaku. Teori ini dikenal dengan teori gabungan atau teori campuran.
4. Teori Pembinaan
Teori pembinaan ini lebih mengutamakan perhatiannya pada si pelaku tindak pidana, bukan pada tindak pidana yang dilakukan. Pidana tidak didasarkan pada berat ringannya tindak pidana yang dilakukan, melainkan harus didasarkan pada keperluan yang dibutuhkan untuk dapat memperbaiki si pelaku tindak pidana.
Menurut teori ini tujuan pidana untuk merubah tingkah laku dan kepribadian si pelaku tindak pidana, agar ia meninggalkan kebiasaan jelek yang bertentangan dengan norma hukum serta norma lainnya supaya ia lebih cenderung untuk mematuhi norm yang berlaku.
Dari empat teori diatas, apabila diambil kesimpuln maka penjatuhan pidana di Indonesia menganut teori ketiga, yang artinya pemidanan diharapkan bukan semata-mata pembalsn tetapi juga pencegahan sekaligus pembinaan bagi narapidana agar menjadi orang yang baik jika keluar lembaga pemasyarakatan kelak, sistem ini dikenal dengan sistem pemasyarakatan. Sistem ini pulalah yang sangat membedakan dengan sistem sebelumnya yakni sistem pemenjaraan.
Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan, tidak hanya ditujukan untuk mengayomi masyarakat dari bahaya kejahatan, melainkan juga orang-orang yang tersesat karena melakukan tindak pidana perlu diayomis dan diberikan bekal hidup sehingga dapat menjadi warga yang berfaedah di dalam masyarakat.
Pelaksanaan pidana berdasarkan sistem pemasyarakatan bukan semata-mata menjadi tugas lembaga pemasyarakatan dan bahkan aparat penegak hukum seperti kepolisian, jaksa dan pengadilan, tetapi disamping itu sebenarnya masyarakat juga ikut berperan dalam pembinaan narapidana, terutama bagi narapidana yang sudah keluar dari pembinaan lembaga pemasyarakatan, agar ia dapat berintegrasi kembali dengan lingkungan masyarakat. Namun dalam kenyataannya pihak masyarakat cenderung untuk menolak kehadiran bekas narapidana ditengah-tengah mereka. Disini dapat digambarkan bahwa proses labeling atau stigma yang hidup dimasyarakat sangat menghambat proses pemasyarakatan.

Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Penggunan Software Bajakan.

Menginstalkan program komputer kedalam harddisk yang tidak memiliki certificate of authenticity atau perjanjian lisensi merupakan pelanggaran yang kebanyakan terjadi ditoko komputer di Kota Surabaya. Penjual komputer akan memberikan fasilitas meng-install program komputer pada saat pembelian komputer. Hal ini dianggap sebagai sebuah strategi dalam penjualan agar konsumen membeli hardware komputer kepada penjual tersebut. Sehingga kebanyakan penjual komputer tidak menyediakan disket-disket asli, dokumen dan perjanjian lisensi untuk konsumen yang membelikan hardware komputer maupun program komputer dimana seharusnya diberikan bersama-sama dengan salinan program asli. Program komputer juga dapat meng-install program-program komputer terbaru melalui took penjual komputer dengan biaya cukup murah hanya Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) per satu program komputer atau dengan paket Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) untuk satu paket program komputer yang hendak di-install yang diinginkan oleh konsumen.
Untuk mengetahui suatu program komputer itu asli atau tidak, sebenarnya cukup mudah karena hanya memeriksa End User License Agreement (UELA) yang merupakan bukti bahwa memiliki hak sah untuk menggunakan program komputer tersebut dan memeriksa Certificate of Authenticity (COA). Adapun perbedaan antara CD-Rom yang asli dengan yang palsu secara fisik adalah sebagai berikut:
1. Ciri-ciri program komputer asli
a. Dikemas secara professional dalam box dilindungi plastic tipis (wrapping), berlogo microsift atau perusahaan lain yang memproduksinya, dengan kualitas kemasan yang sangat baik dengan komposisi gambar dan warna serta tulisan-tulisan yang tertentu;
b. Didalam setiap box kemasan selalu berbentuk dalam satu paket terdiri atas CD-Rom asli dengan dilengkapi manual book/buku panduan penggunaan, kartu sertifikat yang menunjukan keaslian program komputer tersebut, kartu registrasi dan kartu garansi atas program komputer tersebut;
c. CD-Rom berwarna silver/perak metalik dengan logo perusahaan yang memproduksinya dengan latr belakang komposisi gambar/warna tertentu dan terdapat nomor seri disetiap CD-Rom;
d. Dalam kemasan tidak terdapat program komputer yang diproduksi oleh perusahaan lain;
e. Harga program komputer asli relatif lebih mahal.
2. Ciri-ciri program komputer bajakan
a. Dikemas seadanya seperti kemasan Compact Disc biasa, dengan kualitas kemasan yang kurang baik dan gambar kemasan tidak sama seperti kemasan program komputer asli;
b. Dijual dalam bentuk keping CD-Rom tanpa dilengkapi manual book/buku panduan penggunaan, kartu sertifikat, kartu registrasi dan kartu garansi seperti program komputer asli;
c. CD-Rom berwarna gold/emas metalik atau Silver/perak metalik nomor logo perusahaan yang memproduksinya dan terdapat nomor seri palsu (tidak terdaftar pada perusahaan yang memproduksinya);
d. Dalam kemasan terdapat program komputer yang diproduksi oleh perusahaan lain;
e. Harga program komputer bajakan sangatlah murah.
Tidak adanya penurunan kualitas dari program komputer bajakan sebagai salah satu alasan pengguna komputer memilih keuntungan menggunakan program komputer asli. Padahal ada beberapa keuntungan bagi konsumen apabila menggunakan program komputer asli yang antara lain mendapatkan pelayanan apabila ada keluhan, mendapatkan pelatihan hingga perlindungan tertentu terhadap produk tersebut, mengurangi resiko terkena virus yang dapat memusnahkan dokumen atau hasil kerja yang telah disimpan, selain itu juga mendapatkan perlindungan hukum tentunya.
Timbulnya kegitan pelanggaran hak cipta program komputer dipengaruhi oleh berbagai fakto. Secara umum faktor-faktor tersebut meliputi:
1. Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat akan arti dan fungsi hak cipta;
2. Sikap atau keinginan untuk memperoleh keuntungan dagang dengan cara mudah;
3. Belum cukup terciptanya kesamaan pengertin, sikap, dan tindakan para aparat penegak hukum dalam hal ini khususnya kepolisian dalam menghadapi pelanggaran hak cipta.
Pelanggaran hak cipta program komputer selain dipengaruhi oleh faktor-faktor secara umum diatas, secara khusus dipengaruhi juga oleh fakto-faktor antara lain:
1. Faktor ekonomi
a. Pada umumnya harga produk illegal lebih murah daripada dengan harga produk legal/asli, sehingga konsumen terutama golongan masyarakat menengah kebawah cenderung lebih senang membeli produk yang murah terutama apabila kualitasnya tidak jauh beda, dimana hal ini yang kemudian menjadikan masyarakat lebih suka untuk membeli yang bajakan yang kemudian sangat-sangat jelas berpengaruh terhadap meningkatnya pemasaran produk ilegal;
b. Para pelaku pembajakan banyak mendapat keuntungan karena tidak perlu membayar royalty kepada pemegang hak cipta yang produknya digandakan;
c. Produk hasil kejahatan hak cipta pada umumnya diproduksi secara gelap, sehingga menghindari pengenaan pajak yang semestinya wajib dibayar.
2. Faktor Sosial
a. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup pesat telah mempengaruhi terhadap berbagai kemungkinan dan kemudahan untuk melakukan kejahatan dibidang hak cipta;
b. Tingginya angka pengangguran dan terbatasnya kesempatan untuk memperoleh pekerjaan, mendorong sebagian warga untuk berupaya melakukan apa saja termasuk pekerjaan yang berkaitan dengan kejahatan hak cipta, misalnya: menjual program-program komputer bajakan;
c. Lemahnya daya beli masyarakat dihadapkan dengan kebutuhan akan produk-produk tertentu, mendorong meningkatnya pemasaran produk-produk illegal dibidang hak cipta program komputer dengan harga terjangkau walaupun dengan kualitas rendah;
d. Belum meratanya sosialisasi msalah hak cipta program komputer pada masyarakatakan perlunya menghargai hasil karya seni orang lain
3. Faktor budaya
Masyarakat yang biasa hidup dalam kebersamaan memiliki perbedaan dengan HKI yang sangat individual. Artinya bahwa hal yang mendasari diberikannya perlindungan hukum hak cipta kepada pemegang hak cipta berasal dari nilai budaya individualitas masyarakat barat yang berusaha untuk memberikan hak-hak eksklusif pada individu-individu atas hak-hak kekayaan yang dimilikinya, sedangkan di Indonesia nilai budaya kebersamaannya masih cukup tinggi sehingga hak-hak yang dimiliinya seringkali terkait juga dengan fungsi sosial dimasyarakat. Perbedaan persepsi tentang makna HKI dapat menghambat proses sosialisasi pelaksanaan HKI
Berikut daftar 10 software yang paling banyak dibajak oleh perusahaan menurut versi Software & Information Industry Association (SIIA), selaku asosiasi perdagangan untuk industri software dan konten digital, pada 2007:
1. Symantec Norton AntiVirus;
2. Adobe Acrobat;
3. Symantec Pc Anywhere;
4. Adobe Photoshop;
5. Autodesk AutoCAD;
6. Adobe Dreamweaver;
7. Roxio Easy CD/DVD Creator;
8. Roxio Toast Titanium;
9. Ipswitch WS_FTP;
10. Nero Ultra Edition;

Ruang Lingkup Hak Cipta

Untuk memudahkan dalam mengikuti alur penulisan skripsi ini, ada baiknya terlebih dahulu diuraikan beberapa pengertian yang berkaitan dengan ruang lingkup hak cipta itu sendiri. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85) tentang Hak Cipta, yang mana juga mencabut ketentuan mengenai Hak Cipta didalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan yang terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997.
Bahwa didalam Bab II Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta diatur mengenai ruang Lingkup Hak Cipta. Dalam bab tersebut yang mana terdiri atas delapan bagian menjelaskan mengenai fungsi dan sifat hak cipta, pencipta, hak cipta atas pencipta yang penciptanya tidak diketahui, ciptaan yang dilindungi, pembatasan hak cipta, hak cipta atas potret serta hak moral.
Beberapa istilah dan pengertian dalam lingkup hak cipta, antara lain sebagai berikut :
a. Hak cipta adalah Hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan kedalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi;
c. Pemegang hak cipta adalah penciptas sebagai pemilik hak cipta atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
d. Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu ciptaan baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer;
e. Program komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasu persiapan dalam merancang instruksi-instruksi tersebut;
Bahwa perlindungan hak cipta dibidang program komputer/piranti lunak komputer yang lazim disebut software merupakan hal baru. Jadi pada mulanya perlindungan program komputer ini belum dimasukan sebagai salah satu karya yang dilindungi oleh Undang-undang Hak Cipta pada masa berlakunya auteurswet 1912 – (staatsblad Nomor 600 Tahun 1912), maupun pada Undang-undang Hak Cipta Nomor 6 Tahun 1982.
Satu prinsip perlunya diadakan perndaftaran terhadap suatu hak cipta adalah untuk memudahkan pembuktian dalam hal sengketa mengenai hak cipta, dalam undang-undang ini diadakan ketentuan-ketentuan mengenai pendaftaran ciptaan, yaitu dari Pasal 35 sampai Pasal 44, pendaftaran ini tidak mutlak dilakukan, karena tanpa pendaftaran pun hak cipta dilindungi. Hanya mengenai ciptaan yang tidak didaftarkan akan lebih sukar dan lebih memakan waktu pembuktian hak ciptanya dari ciptaan yang didaftarkan.
Pendaftaran ciptaan dilakukan secara pasif, artinya bahwa semua permohonan pendaftaran diterima dengan tidak terlalu mengadakan penelitian mengenai hak pemohon, kecuali jika sudah jelas ada tindak pidana hak cipta. Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta :
“Pada prinsipnya Hak Cipta diperoleh bukan karena pendaftaran,……….”
Bahwa fungsi daripada hak cipta sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 adalah untuk memberikan hak eksklusif bagi pencipta atau hak pencipta untuk melakukan pengumuman atau memperbanyak ciptaannya. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Hak Cipta tersebut menjelaskan bahwa maksud daripada hak ekslusif disini adalah hak yang semata-mata diperuntukan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Dalam pengertian mengumumkan atau memperbanyak, termasuk kegiatan menerjemahkan atau mengadaptasi, mengaransemen, mengalih wujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, mempertunjukkan, kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.
Dalam ayat selanjutnya menjelaskan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta atas karya sinematografi dan program komputer memiliki hak ekslusif yang lebih daripada hak cipta dibidang lainnya, yakni untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
Kemudian sifat daripada hak cipta itu sendiri dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta adalah benda bergerak. Kansil dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum menjelaskan bahwa Hak Cipta termasuk kedalam benda bergerak dengan klasifikasi benda bergerak yang tidak berwujud. Dalam buku tersebut menjelaskan definisi daripada benda bergerak ialah: benda-benda yang karena sifatnya atau karena penentuan undang-undang dianggap benda bergerak. Selain hak cipta, yang termasuk benda bergerak menurut Kansil antara lain adalah Hak Panenan, Hak Oktoroi dan Hak Merk .
Pengalihan hak cipta dapat dilakukan baik sebagian ataupun seluruhnya dengan cara :
a. Pewarisan;
b. Hibah;
c. Wasiat;
d. Perjanjian tertulis; dan
e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. (misalnya adalah pengalihan hak cipta melalui putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap )
Dari keempat cara pengalihan hak cipta tersebut dalam penejelasan Pasal 3 ayat (2) menjelaskan bahwa beralihnya hak cipta tidak dapat dilakukan dengan cara lisan, tetapi harus dilakukan secara tertulis baik dengan maupun tanpa akta notariil.
Dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Hak cipta, menjabarkan macam-macam ciptaan yang dilindungi oleh undang-undang ini, antara lain :
a. Buku, program komputer, pamphlet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;
b. ceramah, kuliah pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan dan pantomime;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Dalam pasal selanjutnya menjelaskan bahwa tidak terdapat hak cipta atas :
a. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
b. peraturan perundang-undangan;
c. pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintahan;
d. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
e. keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
Bahwa pengumuman atau perbanyakan lambang negara dan lagu kebangsaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, begitu juga dengan pengumuman/perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan/diperbanyak oleh atau atas nama pemetintah serta kegiatan pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran dan surat kabar dengan syarat sumbernya harus dituliskan secara lengkap. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-undang Hak Cipta.
Pembatasan ini perlu dilakukan karena ukuran kuantitatif untuk menentukan pelanggaran hak cipta sulit diterapkan. Dalam hal ini akan lebih tepat apabila penentuan pelanggaran hak cipta didasarkan pada ukuran kualitatif. Misalnya, pengambilan bagian yang paling substansial dan khas yang menjadi ciri dari Ciptaan, meskipun pemakaian itu kurang dari 10%. Pemakaian seperti itu secara substantif merupakan pelanggaran Hak Cipta, Pemakaian Ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial. Misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Penciptanya. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan Ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulls, penyebutan atau pencantuman sumber Ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama Pencipta, judul atau nama Ciptaan, dan nama Penerbit jika ada.
Didalam undang-undang hak cipta dikenal adanya hak moral, yang mana dalam penjelasan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 mendefinisikan hak moral sebagai hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus karena tanpa alasan apapun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Pengertian ini adalah untuk lebih menekankan perlindungan terhadap pencipta daripada penerbit dalam wujud penghargaan dengan dicantumkannya nama pencipta baik asli atau samaran, serta identitas lainnya pada ciptaan. Kemudian pada penjelasan Pasal 24 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 menjelaskan mengenai bentuk hak moral, antara lain:
a. dicantumkan nama atau nama samarannya di dalam Ciptaannya ataupun salinannya dalam hubungan dengan penggunaan secara umum;
b. mencegah bentuk-bentuk distorsi, mutilasi atau bentuk perubahan lainnya yang meliputi pemutarbalikan, pemotongan, perusakan, penggantian yang berhubungan dengan karya cipta yang pada akhirnya akan merusak apresiasi dan reputasi Pencipta.
Bahwa selain hak moral tersebut juga terdapat hak ekonomi sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dalam penjelasan tersebut, undang-undang memaknai Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk Hak Terkait. Didalam hak ekonomi dan hak moral tersebut tercermin kepentingan pribadi dan kepentingan sosial.
Menurut penjelasan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keasliannya sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar. Suatu ide pada dasarnya tidak mendapatkan perlindungan menurut undang-undang ini, sebab ide belum memiliki wujud yang memungkinkan untuk dilihat, didengar atau dibaca.
Dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta mengatur mengenai ketentuan masa berlaku Hak Cipta. Pembatasan ini diatur dalam Pasal 29 dan 30 undang-undang tersebut.
Selanjutnya dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta mengatur mengenai jangka waktu hak cipta yang berlaku selama 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia atas ciptaan-ciptaan sebagai berikut:
a. buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain;
b. drama atau drama musikal, tari, koreografi;
c. segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung;
d. seni batik;
e. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
f. arsitektur;
g. ceramah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis lain;
h. alat peraga;
i. p e t a;
j. terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai.
Apabila dalam hal ciptaan-ciptaan tersebut dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih, masa berlaku hak cipta adalah selama hidup pencipta yang meninggal paling akhir, dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelahnya.
Dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta mengatur mengenai jangka waktu hak cipta yang berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan:
a. Program Komputer;
b. sinematografi;
c. fotografi;
d. database; dan
e. karya hasil pengalihwujudan.
Sedangkan untuk hak cipta atas ciptaan perwajahan karya tulis, maka masa berlakunya adalah 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Tindak Pidana Hak Cipta

II.4.1. Jenis Tindak Pidana Hak Cipta
Setelah menyimak beberapa uraian terdahulu, seperti telah tergambar dalam tinjauan mengenai kepolisian negara Republik Indonesia serta tinajuan mengenai hak cipta, maka disini sudah tergambar mengenai permasalahan-permasalahan apa dalam tindak pidana hak cipta.
Adapun juga pembagian hukum pidana atas hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum dibuat dan berlaku untuk semua orang, sedangkan hukum pidana khusus dibuat untuk hal atau orang tertentu. Hukum pidana khusus tersebut. Leden Marpaung mengklasifikasikan bahwa tindak pidana dibidang Hak Cipta ini termasuk tindak pidana khusus . Adapun beberapa tindak pindana yang diklasifikasikan menurutnya yang mana termasuk dalam tindak pidana khusus, yakni:
a. Tindak pidana korupsi;
b. Tindak pidana ekonomi;
c. Tindak pidana lingkungan hidup;
d. Tindak pidana imigrasi;
e. Tindak pidana terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual;
f. Tindak pidana terhadap perairan dan perikanan;
g. Tindak pidana tentang Narkotika;
h. Tindak pidana pasar modal;
i. Tindak pidana perbankan;
j. Tindak pidana kepabeanan;
k. Tindak pidana tentang kehutanan.
Ketentuan mengenai tindak pidana hak cipta ini diatur dalam bab XIII Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dalam bab tersebut terdiri dari 2 (dua) pasal mengenai ketentuan pidana dan penyitaan/perampasan barang-barang hasil tindak pidana hak cipta.
Sifat delik dalam tindak pidana hak cipta telah berubah dari delik aduan (klacht delicten) menjadi delik biasa. Hal ini sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 46 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 menyatakan”tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 adalah kejahatan”, bukan lagi delik aduan tapi merupakan delik biasa. Hal ini diperkuat dengan ketentuan pasal 74 Ketentuan Peralihan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa “Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang Hak Cipta yang telah ada pada tanggal berlakunya undang-undang ini, tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini”. Sehingga disini mengenai sifat delik aduan dalam tindak pidana hak cipta yang terdapat dalam Undang-undang Hak Cipta Nomor 7 Tahun 1987, tetap berlaku karena didalam Undang-undang Hak Cipta yang baru tersebut tidak mengatur ketentuan yang baru mengenai sifat delik dalam tindak pidana Hak Cipta ini.
Memaknai definisi daripada Klacht adalah berarti aduan. Menurut R. Soesilo delik aduan adalah suatu tindak pidana yang selalu hanya dapat dituntut apabila hanya ada pengaduan (permintaan) . Berbeda halnya dalam tindak pidana yang sifatnya delik biasa, delik biasa dapat dituntut tanpa adanya pengaduan (permintaan) sekalipun.
Mengenai macam-macam delik aduan, Soesilo membedakan 2 (dua) jenis delik aduan, antara lain yakni:
a. Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana0 yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan. Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi: “Saya minta agar peristiwa ini dituntut”.
b. Delik aduan relatif, ialah delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukn dalm Pasal 367 (tentang pencurian), lalu menjadi delik aduan. Dalam hal ini maka pengaduan itu diperlukan bukan hanya untuk menuntut peristiwanya itu akan tetapi untuk menuntut orang-orangnya yang bersalh dalam peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat dibelah. Seorang Bapak yang barang-barangnya dicuri (Pasal 367) oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dapat dituntut. Permintaan menuntut dalam pengaduannya dalam hal ini harus berbunyi: “saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.
Delik aduan mengandung konotasi, seolah-olah orientasinya hanyalah untuk melindungi perseorangan saja atau kepentingan si pemegang hak cipta yang dirugikan. Artinya disini adalah bahwa kepentingan umum sekaligus kepentingan si pemegang hak cipta akan terlindungi dengan diubahnya sifat delik hak cipta yang semula bersifat delik aduan menjadi delik biasa.
Dalam rumusan ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dapat dipidana/dihukum berdasarkan ketentuan pasal ini, dengan beberapa unsur yang antara lain:
a. Barang Siapa;
b. Dengan Sengaja (Dollus) melakukan pelanggaran Hak Cipta; dan
c. Tanpa hak/tanpa kewenangan melakukan pelanggaran hak cipta.
Mengenai unsur “barang siapa”, sebagian pakar hukum pidana berpendapat bahwa “barang siapa” bukan merupakan unsur melainkan hanya untuk memperlihatkan bahwa sipelaku adalah “manusia”. Akan tetapi, pendapat tersebut disangkal pakar lainnya dengan mengutarakan pendapat bahwa “barang siapa” tersebut benar adalah unsur, tetapi perlu diuraikan siapa manusianya dan berapa orang. Jadi, identitasnya “barang siapa” tersebut harus jelas. Kekaburan identitas pelaku dapat membatalkan surat dakwaan. Itulah sebabnya “barang siapa’ dianggap sebagai unsur.
Bahwa kemudian unsur dollus menjadi salah satu unsur dalam tindak pidana Hak Cipta. Dollus ini sendiri termasuk dalam unsur subjektif dalam unsur-unsur delik. Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri atas 3 (tiga) bentuk , yakni :
1) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk);
2) Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewutzijn);
3) Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dollus eventualis).
Ad. 1) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk) :
Agar dibedakan antara “maksud” (oogmerk) dengan “motif“. Sehari-hari, motif diidentikkan dengan tujuan. Agar tidak timbul keragu-raguan, diberikan contoh sebagai berikut.
A bermaksud menembak B yang menyebabkan ayahnya meninggal. A menembak B dan B meninggal.
Pada contoh diatas, dorongan untuk membalas kematian ayahnya disebut dengan motif. Adapun “maksud”, adalah kehendak A untuk melakukan perbuatan atau mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman pidana, dalam hal ini menghilangkan nyawa B. sengaja sebagai maksud adalah dikehendaki dan dimengerti.
Ad. 2) Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewutzijn) :
Si pelaku mengetahui dengan pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat lain. Si pelaku menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan itu, pasti akan timbul akibat lain, Satochid Kartanegara memberikan contoh sebagai berikut :
A berkehendak untuk membunuh B. Dengan membawa senjata api, A menuju rumah B. Akan tetapi, ternyata setelah sampai dirumah B, C berdiri didepan B. Disebabkan rasa marah, walaupun ia tahu bahwa C yang berdiri didepan B, A toh melepaskan tembakan. Peluru yang ditembakkan oleh A pertama-tama mengenai C dan kemudian B, hingga C dan B mati. Dalam hal ini, (dollus/opzet) A terhadap B adalah kesengajaan sebagai maksud (oogmerk), sedang terhadap C adalah kesengajaan dengan keinsafan pasti.
Ad. 3) Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dollus eventualis) .
Kesengajaan ini disebut juga dengan “kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan”; Bahwa seseorang yang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-undang, Lamintang menjelaskan dollus eventualis sebagai berikut :
Pelaku yang bersangkutan pada waktu ia melakukan perbuatannya untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat lain dari akibat yang memang ia kehendaki. Jadi, jika kemungkinan yang ia sadari itu kemudian menjadi kenyataan, terhadap kenyataan tersebut ia dikatakan mempunyai suatu kesengajaan.
Contoh klasik dalam hal dollus eventualis adalah kasus kue tar di kota Hoorn, dengan kejadian sebagai berikut :
A hendak membalas dendam terhadap B yang berdiam di Hoorn; A mengirim pada B sebuah kue tar beracun dengan tujuan membunuhnya. Ia tahu bahwa selain B, juga tinggal istri B. A memikirkan adanya kemungkinan bahwa istri B yang tidak bersalah akan memakan kue tar tersebut. Walaupun demikian, ia toh mengirimkannya. Perkara tersebut diadili oleh Hof. Amsterdam dengan putusan tanggal 9 Maret 1911.
Mengenai unsur dapat dipidana dalam Undang-undang hak cipta yang terakhir adalah “tanpa hak” yang mana masing-masing sarjana hukum mempunyai istilah dan pengertian masing-masing, sebagaimana yang telah saya jelaskan sebelumnya.
Ketiga unsur tersebut menjadi satu dalam ketentuan perbuatan yang dapat dipidana (dapat dihukum). Beberapa sarjana menggunakan istilah yang berbeda-beda dalam perbuatan dapat dipidana ini, ada yang menggunakan istilah unlawfulness, onrechtmatige daad, wederrechtelijk.
Hoge Raad berpendapat menenai onrechtmatige daad sebagai berikut: “Onrechtmatige daad tidak lagi hanya apa yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban si pelaku, melainkan juga apa yang bertentangan baik dengan tata susila maupun kepatutan dalam pergaulan masyarakat”
Sejak perubahan pendapat Hoge Raad tersebut, doktrin membedakan wederrechtelijk (melawan hukum) atas :
1) melawan hukum dalam arti materiil;
2) melawan hukum dalam arti formil.
Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa dalam bahasa Indonesia pengertian onrechtmatige daad adalah “perbuatan melanggar hukum” bukan “perbuatan melawan hukum”., karena perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda diterjemahkan dengan “wederrechtelijk” sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Berikut merupakan pendapat para sarjana-sarjana mengenai pembagian wederrechtelijk, antara lain sebagai berikut:
1) Lamintang:
“Menurut ajaran wederrechtelijkheid dalam arti formil, suatu perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat wederrechtelijk apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat dalam suatu delik menurut undang-undang.
Adapun menurut ajaran wederrechtelijk dalam arti materiil, apakah suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai wederrechtelijkheid atau tidak, masalahanya bukan bukan saja harus ditinjau sesuai dengan ketentuan hukum yang tertulis melainkan juga harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis.”
2) Prof. Satochid Kartanegara
Wederrechtelijk formil bersandar pada undang-undang, sedangkan wederrechtelijk materiil bukan pada undang-undang, namun pada “asas-asas umum yang terdapat dalam lapangan hukum atau apa yang dinamakan algemene beginsel”
3) Prof. Moeljatno
Menurutnya mengenai hal ini terdapat dua pendapat. Bahwa wederrechtelijk dalam arti formil ialah apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang. Letak melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang.
Sedangkan wederrechtelijk dalam arti materiil adalah belum tentu semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Melawan hukum bukan saja melawan undang-undang saja, disampin undang-undang (hukum yang tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.
Van Bemmelen selanjutnya mengutarakan tentang melawan hukum materiil sebagai berikut :
1) bertentangan dengan ketelitian yang pantas dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau barang;
2) bertentang dengan kewajiban yang ditentukan oleh undang-undang;
3) tanpa hak atau wewenang sendiri;
4) bertentangan dengan hak orang lain;
5) bertentangan dengan hukum objektif.
Adapun skema unsur-unsur delik , adalah sebagai berikut:

















II.4.2. Penyidik Hak Cipta
Bahwa mengenai rumusan penyidik sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah “pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
Sedangkan rumusan Penyidik Pegawai Negeri Sipil tidak terdapat dalam KUHAP, namun definisi Penyidik Pegawai Negeri Sipil dirumuskan dalam Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 adalah “pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing”
Penyidik sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 71 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Hak Cipta ada dua, yakni :
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu.dilingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan Hak Kekayaan Intelektual diberi wewenang khusus sebagai penyidik. Penyidik sebagaimana dimaksud adalah diangkat sebagai penyidik berdasarkan Keputusan Menteri .
Bahwa ruang lingkup wewenang penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hak Cipta apabila dibandingkan dengan KUHAP maupun undang-undang Kepolisian kurang lebihnya sama dan tidak terdapat perbedaan.
Adapun wewenang yang dimiliki oleh penyidik Hak Cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, adalah sebagai berikut :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Hak Cipta;
b. melakukan pemeriksaan terhadap pihak atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Hak Cipta;
c. meminta keterangan dari pihak atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang Hak Cipta;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Hak Cipta;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain;
f. melakukan penyitaan bersama-sama dengan pihak Kepolisian terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Hak Cipta; dan
g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Hak Cipta.
Selanjutnya dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menjelaskan bahwa : “Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana”.
Dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menjelaskan bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah penyidik hak cipta ini juga diberi wewenang untuk melakukan penangkapan atau penahanan, penyitaan barang bukti; bagaimana koordinasi mereka dengan Penyidik yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut diatas, sudah barang tentu tidak terlepas dari dasar hukum yang mengatur ruang lingkup dalam hak cipta itu sendiri. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dibidang hak cipta tersebut hanya dapat melakukan penyidikan setelah mendapatkan surat perintah tugas penyidikan dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman. Meskipun PPNS tersebut memiliki kewenangan tertentu, dia tidak boleh melakukan penangkapan atau penahanan, kecuali jika si pelanggar tertangkap tangan, maka penyidik tersebut boleh menangkap tersangka tanpa surat perintah dan segera menyerahkannya kepada penyidik dari Kepolisian.
Sedangkan terhadap penyitaan barang bukti, diatur dalam Pasal 9 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.04.PW.07.03 Tahun 1988 tentang Penyidik Hak Cipta, selengkapnya adalah sebagai berikut :
1. Penyitaan terhadap barang bukti, hanya dapat dilakukan oleh Penyidik Hak Cipta dengan Surat Izin Ketua Pengadilan Neegeri;
2. Penyidik Hak Cipta mengajukan surat permohonan izin untuk melakukan penyitaan barang bukti kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat terjadinya tindak pidana hak cipta atau di tempat yang banyak ditemukan barang bukti;
3. Permohonan izin penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diketahui oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan tembusannya dikirimkan kepada Penyidik Kepolisian setempat.
Adapun koordinasi kerja antara Penyidik khusus Hak Cipta dengan penyidik yang diatur pada KUHAP, dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Memberitahukan tentang dimulainya penyidikan kepada Penuntut umum dan Penyidik Kepolisian;
b. Memberitahukan tentang perkembangan penyidikan yang dilakukan kepada Penyidik Kepolisian;
c. Meminta petunjuk dan bantuan penyidik sesuai dengan kebutuhan kepada Penyidik Kepolisian;
d. Memberitahukan kepada Penuntut Umum dan Penyidik Kepolisian, apabila penyidikan akan dihentikan karena alasan-alasan tertentu yang dibenarkan oleh hukum.