Kamis, 11 Desember 2008

eksistensi pidana mati, antara "Hak" dan "Kewajiban"

Sejak keberadaan manusia dimuka bimi ini, maka sejak itulah permasalahan dan kejahatan mulai menempatkan dirinya, searah dengan perkembangan kepintaran dan segala kesulitan serta tantangan manusia untuk bertahan hidup atau hanya sekedar untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan disekitarnya, maka kejahatan juga mulai merajalela tidak hanya itu saja adanya perkembangan teknologi dalam peradaban manusia juga memacu manusia melakukan kejahatan.

Pada saat kejahatan mulai semakin beragam dan terus berkembang didalam kehidupan masyarakat. Bukan saja pada masyarakat yang sudah maju, namun juga terdapat pada masyarakat yang sedang berkembang. Hal ini merupakan akibat dari perkembangan teknologi, perkembangan sosiokultural dan politik. Semakin beragamnya kejahatan tersebut, menuntut akan kemampuan hukum, baik perangkat perundang-undangan maupun perangkat hukum.

1

Para ahli psikiatri berpendapat bahwa jauh terpendam didalam jiwa setiap orang mempunyai dorongan-dorongan untuk melakukan kejahatan yang ia kendalikan dengan begitu baik, sehingga ia sendiri tidak menyadari adanya dorongan itu.[1] Kejahatan merupakan gejala sosial dan penyakit masyarakat yang akan hidup dan meningkat sepanjang sejarah manusia, kejahatan itu bersumber dari masyarakat dan masyarakat sendiri yang akan menanggung akibatnya dari kejahatan itu walaupun tidak secara langsung. Kejahatan mengakibatkan ketertiban, ketentraman, dan keamanan masyarakat terganggu dan pergaulan hidup menjadi rusak serat hak milik tidak terjamin keamanannya dengan kondisi yang demikian maka perlu adanya usaha-usaha untuk mencegah dan memberantas kejahatan ini, bentuk dan cara yang digunakan cenderung berubah. Masalah kejahatan bukan hanya menyangkut masalah pelanggaran norma hukum saja, tetapi juga melanggar norma-norma yang lain, misalnya : norma agama, norma susila, dan lain-lain, norma hukum hanyalah satu dari sekian banyak norma yang hidup ditengah-tengah masyarakat.

Pro dan kontra mengenai hukuman mati akhir-akhir ini kembali mencuat setelah sembilan hakim konstitusi berbeda pendapat ketika melakukan pengujian UU Narkotika terhadap UUD 1945 khususnya mengenai penerapan hukuman mati dalam UU Narkotika. Enam hakim, termasuk Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan pasal 28 A dan pasal 28 I UUD 1945. Sedangkan tiga hakim lainnya, yaitu Laica Marzuki, Achmad Roestandi dan Maruarar Siahaan, menyatakan ketidak-setujuannya atas eksistensi hukuman mati.

Perlu diketahui bahwa tujuan pemidanaan dalam sistem hukum kita ini adalah untuk memasyarakatkan terpidana sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendah­kan martabat manusia. Hukuman mati bukan cara yang tepat untuk membebaskan rasa bersalah terhadap terpidana dan dengan eksekusi mati, tujuan untuk memasyarakatkan terpidana agar menjadi orang yang baik dan berguna serta dapat diterima kembali di masyarakat tidak dapat tercapai. Hukuman mati ini juga mendatangkan penderitaan yang sangat berat bagi terpidana, baik pada saat menunggu eksekusi maupun pada saat eksekusi itu sendiri. Pada saat menunggu eksekusi, terpidana mati mengalami tekanan mental atas hukuman yang akan dijalaninya dan pada saat dilaksanakannya eksekusi, yang bersangkutan mengalami penderitaan fisik. Sehingga muncul pendapat bahwa apabila seseorang dijatuhi hukuman mati maka yang bersangkutan menjalani double punishment.

Dalam ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur mengenai ketentuan pidana, yang antara lain adalah sebagai berikut:

Pasal 10 KUHP : Pidana terdiri atas:

a. Pidana pokok:

1. pidana mati;

2. pidana penjara;

3. pidana kurungan;

4. pidana denda;

5. pidana tutupan.

b. Pidana tambahan

1. pencabutan hak-hak tertentu;

2. perampasan barang-barang tertentu;

3. pengumuman putusan hakim.

Tujuan pemidanaan menurut konsep Rancangan KUHP 1991/1992 dinyatakan dalam pasal 51, adalah sebagai berikut :

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

keseluruhan teori pemidanaan baik yang bersifat prevensi umum dan prevensi khusus, pandangan perlindungan masyarakat, teori kemanfaatan, teori keseimbangan yang bersumber pada pandangan adat bangsa Indonesia maupun teori resosialisasi sudah tercakup didalamnya.

Menurut Muladi dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus tercakup dua hal, yaitu pertama harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si pelaku dan yang kedua harus tercakup tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat.[2]

Sejarah hukum pidana pada masa lampau mengungkapkan adanya sikap dan pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obat yang paling mujarab terhadap kejahatan-kejahatan berat ataupun terhadap kejahatan-kejahatan lain. Dalam pada itu bukan saja pada masa lampau, sekarang pun masih ada yang melihat pidana mati sebagai obat yang paling mujarab untuk kejahatan.

Indonesia yang sedang mengadakan pembaharuan di bidang hukum pidananya, juga tidak terlepas dari persoalan pidana mati ini. Pihak pendukung dan penentang pidana mati yang jumlahnya masing-masing cukup besar, mencoba untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru, buatan bangsa sendiri, yang telah lama dicita-citakan.

Sesuai dengan Pancasila yang memiliki kedudukan sebagai dasar filsafat kenegaraan dan merupakan guiding principle dalam menjalankan kegiatan bernegara di Indonesia, khususnya sila pertama dan kedua, dalam UUD 1945 pasal 28 A disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selanjutnya pasal 28 I ayat 1 menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Maka, patut kita pertanyakan metode penafsiran apa yang digunakan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dan lima hakim konstitusi lainnya yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945?

Selain pasal 28 UUD 1945, hak untuk hidup juga diatur dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal 4 UU HAM dinyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (non-derogable rights). Dengan dipertahankannya hukuman mati dalam sistem hukum di Indonesia berarti negara telah mengabaikan kewajibannya untuk menjamin hak hidup dari setiap warga negaranya.

Pencantuman hukuman mati dalam beberapa Undang-undang yang berlaku di Indonesia merupakan bentuk inkonsistensi negara terhadap ideologi dan konstitusi negaranya sendiri. Dalam Pancasila dan UUD 1945 ditegaskan bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa negara menjamin hak hidup dari setiap warga negaranya. Tetapi dalam perundang-undangan Indonesia masih banyak Undang-undang yang mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu ancaman hukumannya.

Hukuman mati belum tentu akan membuat angka kejahatan akan berkurang atau membuat seseorang merasa takut untuk melakukan kejahatan sejenis dengan terpidana mati. Seperti kita ketahui pada kasus Poso, eksekusi mati terhadap Tibo Cs tidak membuat warga Poso takut untuk terlibat konflik antar kelompok seperti yang dilakukan Tibo Cs, tetapi justru memicu konflik antara kelompok pendukung dan kelompok penentang eksekusi mati terhadap Tibo Cs. Dari kasus ini terlihat bahwa tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan upaya pencegahan tindak kejahatan. Maka, dapat dikatakan hukuman mati sama dengan gambling with human life.[3]

Penasehat hukum terpidana mati kasus bom Bali I yang tergabung dalam Tim Pembela Muslim mengajukan gugatan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara 1964 No 38) yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yakni sebanyak 3 (tiga) Pasal, yang antara lain Pasal 1, Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 14 ayat (4) dalam Undang-undang tersebut. Menurut Tim Pembela Muslim, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan 28 I ayat (1) UUD 1945.[4]



[1] Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta-2001, Hal. 51.

[2] http\\\www.hukumonline.com, Syahruddin Husein, 8 November 2008.

[4] Ringkasan Permohonan Perkara, Perbaikan Nomor 21/PUU-VI/2008, http\\\www.hukumonline.com, 8 November 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar