Jumat, 12 Desember 2008

KEKERASAN PADA ANAK

Abstract
Constatation of torture on child as a crime in the legislation, either in general or specific legislation, basically have been sufficient. The constatation in fact are functional as an indirect protection upon child as victim of torture. The protection on child somehow still need other kind of instruments which may be satisfactory for those victim of torture. Beside, the constatation of torture as a crime contains the intens to prevent crime through the using criminal law. The prevention of torture through non-penal policy seems had been constated by legislative, eventough unexplicitely stated as comprehensive criminal prevention.

Kata kunci : kekerasan terhadap anak, perlindungan, kebijakan penal

PENDAHULUAN

Selama tiga dasawarsa, masalah anak, baik sebagai pelaku maupun korban kejahatan (kekerasan) dapat dikatakan kurang mendapat perhatian dari penguasa.

Sebagai pelaku kejahatan (kekerasan), melalui berbagai kegiatan ilmiah, sudah sering diusulkan agar penguasa (pembuat UU) menyusun kebijakan yang memberikan perlindungan anak. Baru sepuluh yang tahun yang lalu penguasa menetapkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang “Pengadilan Anak”. Di samping perlunya perlindungan hukum bagi anak pelaku kejahatan (kekerasan), juga perlu adanya upaya perlindungan hukum bagi anak korban kejahatan (kekerasan).

Empat tahun yang lalu penguasa telah menegesahkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang “Perlindungan Anak” dan dua tahun kemudian lahir juga UU No. 23 Tahun 2004 tentang “Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga” (UU KDRT).

Potret kekerasan terhadap anak sebenarnya bukan monopoli masyarakat di era reformasi saja, melainkan sudah sejak era sebelumnya. Masyarakat mungkin masih ingat kasus “Ari Hanggara”. Dalam kasus tersebut Ari Hanggara menjadi korban kekerasan (penganiayaan) yang mengakibatkan kematian dari kedua orang-tuanya. Akhir-akhir ini, katakanlah selama lima tahun terakhir, masyarakat sering disuguhi berita maupun gambar (visualisasi) kekerasan terhadap anak, baik oleh anggota keluarganya sendiri maupun oleh orang diluar keluarganya.

Penelitian tentang “Anak Yang Dilacurkan di Surakarta dan Indramayu” yang dilakukan oleh Tim Peneliti dengan Koordinator Retno Setyowati (PPKUNS)1, menunjukan adanya eksploaitasi seksual terhadap anak.

Di Kabupaten Sukoharjo, dari tahun 2004 – Februari 2006, ada 7 kasus kekerasan pada anak, yang terdiri dari 1 kasus perkosaan (285 KUHP), 4 kasus yang pelanggaran Pasal 81, dan 1 kasus pelanggaran Pasal 82 UU Perlindungan Anak.

Kasus-kasus tersebut di atas hanyalah sebagian dari ratusan kasus yang pernah terjadi dan hal itu merupakan fenomena “gunung es” terhadap pada anak yang hingga kini masih belum juga tercairkan. Di Jakarta, perkosaan terhadap anak juga bukan hal langka.

LBH Apik Jakarta dalam laporan akhir tahunnya menyebutkan, dari 239 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada Januari–Oktober 2003, sekitar 50 persen di antaranya menimpa anak-anak. Data itu mencakup kasus perkosaan, sodomi, paedofilia, percabulan, dan pelecehan seksual. Sementara itu, dari 32 kasus kekerasan seksual yang terjadi bulan April 2002, 28 kasus atau 87,5 persen di antaranya terjadi pada anak di bawah umur.

Realitasnya, kekerasan seksual terhadap anak bisa jadi jauh lebih tinggi dari angka di atas. Harus diingat, perkosaan adalah hal yang sensitif, sulit diungkapkan atau dibuktikan. Tak ubahnya gunung es yang dari permukaan air seringkali hanya terlihat puncaknya, data kasus perkosaan yang tercatat barangkali hanya mewakili sebagian kecil dari realitas yang sesungguhnya.

Kekerasan seksual pada anak seringkali meninggalkan bekas traumatis yang sulit dihilangkan. Demikian dikemukakan Seto Mulyadi, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA).2

Persoalannya adalah sejauhmana hukum atau perundang-undangan Indonesia, termasuk kedua UU di atas, mengapresiasi terhadap fenomena tersebut, baik terhadap perbuatan, pelaku maupun anak sebagai korban kekerasan.

----------------

1 Retno Setyowati, 2004, Anak Yang Dilacurkan di Surakarta dan Indramayu, UNICEF.
2 Sinar Harapan, Selasa , 31 Desember 2004.



BENTUK KEKERASAN PADA ANAK

Bentuk kekerasan terhadap anak tentunya tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, seperti penganiayaan, pembunuhan, maupun perkosaan, melainkan juga kekerasan non fisik, seperti kekerasan ekonomi, psikis, maupun kekerasan religi.

Pembuat UU, melalui perundang-undangan (hukum positif), seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Perlindungan Anak, dan UU Pencegagahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT), meski tidak menyebutkan secara khusus ruang lingkup kekerasan terhadap anak, telah menetapkan beberapa bentuk kekerasan terhadap anak sebagai tindak pidana, yaitu : mencakup kekerasan fisik, psikis, dan seksual.

Beberapa bentuk kekerasan dalam UU Perlidnungan Anak dan UU KDRT sebenarnya merupakan adopsi, kompilasi atau reformulasi dari beberapa bentuk kekerasan yang sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan sebelum, seperti KUHP, UU Narkotika, maupun UU Ketenagakerjaan. Khususnya UU KDRT, dalam penjelasan umumnya disebutkan antara lain : “……. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum didalam Kitab Undangundang Hukum Pidan atelah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran anak yang perlu diberi nafkah dan kehidupan”.

Berikut hendak dikemukakan beberapa bentuk perbuatan (tindak pidana) kekerasan terhadap anak yang ditetapkan dalam KUHP, UU Perlindungan Anak, dan UU KDRT.

Dalam KUHP ada beberapa tindak pidana, bahkan ada yang secara eksplisit disebutkan sebagai kekerasan terhadap anak, yaitu :
(1) Tindak pidana (kejahatan) terhadap asal-usul dan perkawinan, yaitu melakukan pengakuan anak palsu (Pasal 278);
(2) Kejahatan yang melanggar kesusilaan, seperti menawarkan, memberikan, untuk terus menerus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang amelanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa (Pasal 283), bersetubuh dengan wanita yang diketahui belum berumur lima belas tahun di luar perkawinan (Pasal 287), melakukan perbuatan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul terhadap orang yang belum berumur lima beas tahun (Pasal 290), melakukan perbuatan cabul terhadap anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya, yang belum dewasa (Pasal 294), menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya, yang belum dewasa dengan orang lain (Pasal 295), melakukan perdagangan anak (Pasal 297), membikin mabuk terhadap anak (Pasal 300), memberi atau menyerahkan seorang anak yang ada di bawah kekuasaannya kepada orang lain untuk melakukan pengemisan atau pekerjaan yang berbahaya atau pekerjaan yang dapat merusak kesehatannya (Pasal 301);
(3) Kejahatan terhadap kemerdekaan orang, seperti menarik orang yang belum cukup umum dari kekuasaan yang menurut UU ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang lain (Pasal 330), menyembunyikan orang yang belum dewasa (Pasal 331), melarikan wanita yang belum dewasa tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya, tetapi disetujui oleh wanita itu (Pasal 332);
(4) Kejahatan terhadap nyawa, seperti merampas nyawa (pembunuhan) anak sendiri yang baru lahir (Pasal 341 dan 342);
(5) Kejahatan penganiayaan terhadap anaknya sendiri (Pasal 351-356).

Berbagai bentuk kejahatan (kekerasan) terhadap anak dalam KUHP tersebut merupakan bentuk khusus dari kejahatan dalam KUHP yang mempunyai konsekuensi khusus pula. Sementara kejahatan lainnya yang tidak disebutkan secara tegas bahwa korbannya anak, konsekuensinya sama dengan kejahatan yang korbanya bukan anak. Jadi, selain yang disebutkan di atas, masih dimungkinkan adanya kejahatan-kejahatan (kekerarasan terhadap anak. Misalnya, pembunuhan terhadap anak, dll. Berikutnya hendak dikemukakan berbagai bentuk kekerasan terhadap anak yang ditetapkan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak.

Seperti dikemukakan di atas, bahwa ada beberapa bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentukbentuk kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan ke dalam berbagai tindak pidana, seperti diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 89. Berbagai bentuk tindak pidana kekerasan pada anak dalam UU Perlindungan Anak adalah sebagai berikut :
(1) diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya (Pasal 77);
(2) penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan fisk, mental, maupun sosial (Pasal 77);
(3) membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti dalam pengusian, kerusuhan, bencana alam, dan/atau dalam situasi konflik bersengjata (Pasal 78);
(4) membiarkan anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, padahal anak tersebut memrlukan pertolongan dan harus dibantu (Pasal 78);
(5) pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan Pasal 39 (Pasal 79);
(6) melakukan kekejaman, kekerasan atau penganiayaan terhadap anak (Pasal 80);
(7) melakukan kekerasan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan (Pasal 81);
(8) melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul (Pasal 82);
(9) memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual (Pasal 83);
(10) melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum (Pasal 84);
(11) melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak (Pasal 85);
(12) melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak, tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objeknya tanpa mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, secara melawan hukum (Pasal 85);
(13) membujuk anak untuk memilih agama lain dengan menggunakan tipu muslihat atau serangkaian kebohongan (Pasal 86);
(14) merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata, kerusuhan social, peristiwa yang mengandung kekerasan, atau dalam peperangan, secara melawan hukum (Pasal 87);
(15) mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain (Pasal 88);
(16) menempatkan, membiarkan, melibatkan, menuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika, psikotropika, alkhohol, dan/atau zat adiktif lainya (napza) (Pasal 89).

Selanjutnya adalah berbagai bentuk kekerasan pada anak yang diatur dalam UU KDRT. Berbagai bentuk kekerasan yang ditetapkan sebagai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dalam UU KDRT adalah sebagai berikut :
(1) melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga (Pasal 44);
(2) melakukan kekerasan psikis dalam rumah tangga (Pasal 45);
(3) melakukan kekerasan seksual (Pasal 46-48); dan
(4) menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga (Pasal 49).

Bentuk-bentuk kekerasan tersebut memang tidak secara khusus ditujukan kepada anak, namun yang jelas kekerasan itu dapat mengenai anak, karena dalam keluarga dimungkinkan ada penghuni yang masih anak. Beberapa bentuk perbuatan kekerasan dalam UU Perlindungan Anak dan UU KDRT sebenarnya sudah diatur atau ditetapkan oleh KUHP. Kedua UU tersebut pada dasarnya hanya menetapan kembali (reformulasi/rekriminalisasi) dengan memberi nama baru dan/atau meningkatkan ancaman sanksi pidana.

KEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP KEKERASAN PADA ANAK

Kebijakan kriminal, menurut Sudarto,3 yang mengunakan istilah politik
kriminal, adalah suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Definisi ini, menurut Barda Nawawi Arief,4 diambil dari definisi Marc Ancel yang merumuskan criminal policy sebagai “the rational organization of the control of crime by society”.

Pada kesempatan lain Sudarto5 pernah mengemukakan tiga pengertian tentang kebijakan kriminal, yaitu :
(1) dalam arti sempit, yaitu keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar reaksi terhadap pe-langgaran hukum yang berupa pidana;
(2) dalam arti luas, yaitu keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
(3) dalam arti paling luas, yaitu keseluruhan ke-bijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

G. Peter Hoefnagels6 mengemukakan, bahwa ilmu pengetahuan kebijakan kriminal merupakan ilmu pengetahuan penanggulangan kejahatan. Selanjutnya dengan mendasarkan pada pendapat Marc Ancel, ia mengemukakan, bahwa : “criminal policy is the rational organization of the soscial reaction to crime”. Hoefnagels juga mengenmukakan, bahwa kebijakan kriminal sebagai ilmu pengetahuan kebijakan adalah bagian dari kebijakan yang lebih besar, yaitu kebijakan penegakan hukum. Sementara itu, kebijakan penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan sosial.7

Kebijakan criminal atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa kebijakan kriminal pada hakikatnya merupakan bagian integral dari kebijakan sosial, yaitu usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Sebagai usaha penanggulangan kejahatan, kebijakan kriminal dapat mengejawantah dalam berbagai bentuk. Pertama, yakni bersifat represif yang menggunakan sarana penal, yang sering disebut sebagai sistem


-------------------
3 Sudarto, 1977, Hukum dan Hukumm Pidana, BAndung: Alumni, hal. 38.
4 Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 2.
5 Sudarto, 1981,, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, hal. 113.
6 G.P. Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology, Deventer, Holland: Kluwer, hal. 57.
7 Ibid,
peradilan pidana (criminal justice sistem. Dalam hal ini secara luas sebenarnya mencakup pula proses kriminalisasi. Kedua, yakni berupa usaha-usaha prevention without punishment (tanpa menggunakan sarana penal), dan yang ketiga, adalah pendayagunaan usaha-usaha pembentukan opini masyarakat tentang kejahatan dan sosialisasi hukum melalui mass media secara luas.8

Dikaitkan dengan kejahatan (kekerasan) terhadap anak, kebijakan kriminal di sini dapat dimaksudkan sebagai usaha yang rasional dalam menanggulangi kekerasan pada anak. Dengan demikian, upaya penanggulangan kekerasan pada anak pada dasarnya merupakan bagian dari upaya perlindungan anak dalam mewujudkan kesejahteraan anak. Apabila mendasarkan pada pemikiran di atas, maka usaha penanggulangan kekerasana pada anak dapat dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) maupun non-penal (non hukum pidana). Penanggulangan kekerasan pada anak dengan hokum pidana dapat dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu tahap formulasi, aplikasi, dan tahap eksekusi.9

Dalam tahap formulasi, pembuat UU menetapan perbuatan perbuatan kekerasan pada anak sebagai tindak pidana, artinya bahwa perbuatan-perbuatan kekerasan pada anak oleh pembuat UU diberi sanksi pidana. Pemberian sanksi pidana ini masih bersifat abstrak. Pemberian pidana yang lebih konkret ada pada tahap aplikasi, yaitu oleh badan peradilan. Sementara itu, pemberian pidana yang benar-benar konkret adalah pada tahap eksekusi, yaitu oleh badan eksekusi, misalnya pidana penjara oleh Lembaga Pemasyarakat.

Pemberian pidana secara akbstrak, yaitu penetapan perbuatan kekerasan pada anak sebagai tindak pidana, telah dilakukan pembuat UU ke dalam beberapa pasal KUHP, UU Perlindungan Anak dan UU KDRT, seperti telah disebutkan di atas. Pemberian sanksi pidana, baik secara abstrak maupun yang konkret, diharapkan dapat memberikan efek pencegah terhadap pelaku maupun pelaku potensial.

Di samping penanggulangan kekerasan pada anak dengan sarana hukum pidana, pembuat UU juga telah menetapan beberapa kebijakan yang dapat dinilai sebagai upaya penanggulangan kekerasan pada anak dengan sarana non hukum pidana.

Dalam UU Perlindungan Anak, kebijakan penangulangan kekerasan pada anak, dapat diidentifaksi pada bagian upaya perlindungan anak, yaitu mencakup :

---------------
8 Ibid, hal. 56. Lihat juga Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, hal. 48.
9 Lihat Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Alumni, hal. 57 dan Barda Nawawi Arief, Masalah Pemidanaan Sehubungan dengan Perkembangan Delikdelik Khusus dalam MAsyarakat Modern, Jakarta: BPHN, hal. 127.
(1) Diwajibkannya ijin penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian kepada orang tua dan harus mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak (Pasal 47);
(2) Diwajibkannya bagi pihak sekolah (lembaga pendidikan) untuk memberikan perlindungan terhadap anak di dalam dan di lingkungan sekolah dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya (Pasal 54);
(3) Diwajibkannya bagi pemerinyah untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga (Pasal 55);
(4) Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, dan pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66);
(5) Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan (Pasal 69).

Upaya pencegahan kekerasan pada anak dengan sarana nonpenal, dalam UU KDRT, disebutkan : “Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga” (Pasal 11). Upaya pencegahan
tersebut adalah :
(a) merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
(b) menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
(c) menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 12).

PERLINDUNGAN ANAK KORBAN KEKERASAN

Perlindungan korban (tentunya termasuk anak) kejahatan (kekerasan) dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret (langsung). Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan). Sementara itu, perlindungan yang kongkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materii maupun non-materi. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebeasan beaya hidup atau pendidikan. Pemberian perlindungan yang bersifat non-materi dapat berupa pembebasan dari ancaman, dari pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan.

Perlindungan terhadaap anak korban kejahatan (kekerasan) dapat dilakukan melalui hukum, baik hukum administrasi, perdata, maupun pidana. Penetapan tindak pidana kekerasan pada anak dan upaya penanggulangan kekerasan pada anak dengan hukum, melalui berbagai tahap, sebenarnya terkandung pula upaya perlindungan bagi anak korban kekerasan, meski masih bersifat abstrak atau tidak langsung. Namun, dapat dikatakan bahwa dewasa ini, pemberian perlindungan korban kejahatan oleh hukum pidana masih belum menampakan pola yang jelas.10

Sistem peradilan pidana, baik hukum pidana positif maupun penerapannya pada dasarnya lebih banyak memberikan perlindungan yang abstrak (tindak langsung). Adanya perumusan (penetapan) perbuatan kekerasan terhadap anak sebagai tindak pidana (dengan sanksi pidana) dalam peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan pemberian perlindungan “in abstracto”, secara tidak langsung, terhadap anak korban kejahatan (kekerasan).11

Dikatakan demikian, karena tindak pidana dalam hukum positif tidak dianggap sebagai perbuatan menyerang/melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara pribadi dan kongkret, tetapi hanya dianggap sebagai pelanggaran “norma/tertib hukum in abstracto”. Konsekuensinya, perlindungan korbanpun tidak secar langsung, tapi hanya secara tidak langsung (in abstracto). Dengan kata lain, sistem sanksi dan pertanggungjawaban pidana tidak ditujukan pada perlindungan korban secara langsung dan kongkret, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana oleh perlaku kejahatan (kekerasan) bukanlah pertanggungjawaban pidana terhadap kerugian/penderiataan korban secara langsung dan konkret, tetapi lebih merupakan pertanggungjawaban yang bersifat pribadi/individual.12

Dalam pertanggungjawaban pidana yang bersifat pribadi/individual pada dasarnya juga terkandung adanya perlindungan korban kejahatan secara tidak langsung, dan bahkan terhadap calon-calon korban atau korban potensial. Pemberian pidana, baik secara abstrak (in abstracto) maupun secara konkret (in concreto) oleh badan (lembaga) yang berwenang, misalnya pidana mati, penjara maupun pidana denda, dapat memberikan rasa puas bagi korban dan rasa aman (tenang) bagi korban potensial. Pemberian pidana kepada pelaku kejahatan (kekerasan) memang belum bisa memberikan rasa keadilan yang sempurna. Lebih-lebih apabila korban menderita kerugian secara materiil maupun secara fisik.
----------
10 Muladi, 1992, Perlindungan Korban Melalui Proses Pemidaaan, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bungan Rampai Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya hal. 87.
11 Lihat Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan dalam proses Peradilan Pidana, Makalah Seminar Nasional “Perlindungan HAM dalam Proses Peradilan Pidana” (Upaya Pembaharuan KUHAP), Fakultas Hukum UMS, 17 Juli 1997, hal 2.
12 Ibid, hal. 3


Studi yang pernah dilakukan oleh Dr.Iswanto,S.H.13 tentang “Perlindungan Korban Akibat Kecelakaan Lalulintas Jalan Raya” menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap korban, yang bersifat abstrak, masih jauh dari rasa keadilan. Pemberian ganti rugi (kompensasi) dari pelaku melalui proses alternatif (proses di luar peradilan) justri dinilai lebih bermanfaat dan berkeadilan, serta dalam menyelesaikan persoalan yang timbul akibat dari kecelakaan tersebut.

Di samping memberikan perlindungan secara tidak langsung, hukum pidana positif, dalam hal-hal tertentu, juga memberikan perlindungan secara langsung. Dalam Pasal 14c KUHP ditetapkan bahwa “dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14a), hakim dapat dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana, yaitu “mengganti semua atau sebagian kerugian” yang ditimbulkan oleh perbuatannya dalam waktu yang lebih pendek dari masa percobaannya”.

Perlindungan yang langsung ini, di samping jarang diterapkan, masih mengandung banyak kelemahan, yaitu :
(1) ganti kerugian tidak dapat diberikan secara mandiri, artinya bahwa ganti kerugian hanya dapat diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana bersyarat;
(2) pidana bersyarat hanya berkedudukan sebagai pengganti dari pidana pokok yang dijatuhkan hakim yang berupa pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan;
(3) pemberian ganti kerugian hanya bersifat fakultatif, bukan bersifat imperatif. Jadi, pemberian ganti kerugian tidak selalu ada, meski hakim menjatuhkan pidana bersyarat.

Dalam KUHAP, Pasal 98-101, diatur tentang kemungkinan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian (perdata) ke dalam perkara pidana. Ketentuan ini dapat dikatakan memberikan perlindungan korban kejahatan dalam mempermudah perolehan ganti kerugian, namun model ini juga mempersempit ruang gerak korban sendiri. Dalam penggabungan perkara ini, berakhirnya putusan pidan berarti juga berakhirnya putusan perdata. Jadi, apabila dalam perkara pidana tidak ada upaya hukum, banding misalnya, maka putusan perdata harus mengikuti putusan pidana. Artinya, pihak penggugat yang menitipkan perkara kepada Jaksa tidak dapat melakukan upaya hukum, meski putusan atas tuntutan ganti kerugiannya tidak memuaskan.




-------------------
13 Iswanto, 1995, Perlindungan Korban Akibat Kecelakaan Lalu-lintas Jalan Raya, Disertasi, Tidak dipublikasikan, Yogyakarta: UGM, hal. 273.



Upaya perlindungan anak korban kekerasan baru mulai mendapat perhatian penguasa, secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya UU Perlindungan Anak14, meski perlindungan itu masih memerlukan instrumen hukum lainnya guna mengoperasionalkan perlindungan tersebut.

Di samping adanya perlindungan yang bersifat abstrak (secara tidak langsung) melalui pemberian sanksi pidana kepada pelaku kekerasan terhadap anak, UU Perlindungan Anak juga menetapkan beberapa bentuk perlindungan yang lain terhadap anak korban kekerasan. Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi : “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”. Kemudian dalam Pasal 18 disebutkan : “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya”.

Bentuk perlindungan yang diberikan oleh UU (Pasal 17 ayat 2 dan Pasal 18) hanya berupa kerahasiaan si anak, bantuan hukum dan bantuan lain. Hanya sayang, bahwa makna kerahasiaan tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut.

Kemudian perlindungan yang berupa bantuan lainnya, dalam penjelasan Pasal 18, hanya disebutkan bahwa : “bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik,, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan”. Dalam Bab IX tentang Penyelenggaraan Perlindungan ditetapkan beberapa bentuk perlidungan anak yang mencakup perlindungan agama, kesehatan, sosial, dan pendidikan. Dalam perlindungan tersebut tidak disebutkan secara khusus tentang perlindungan bagi anak korban kekerasan. Baru dalam bagian kelima (Pasal 59-71) diatur tentang perlindungan khusus, namun sayangnya dalam ketentuan ini juga ditegaskan tentang bentuk perlidungan khusus bagi anak korban kekerasan. Dalam ketentuan ini hanya ditetapkan tentang proses dan pihak yang bertanggungjawan atas perlindungan anak korban kekerasan. Misalnya, perlindungan anak korban tindak pidana (Pasal 64 ayat 3) hanya ditentukan prosesnya, yaitu melalui :
(1) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
(2) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan menghindari labelisasi;
(3) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial; dan
(4) pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
--------------
14 Dalam penjelasan umum UU Perlindungan Anak, antara lain, disebutkan, bahwa “Meskipun UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan keawajiban dan tanggungjawab orang tua, keluarga, masyarakarat, pemerintah dan negara, untuk memberikan perlindungan pada anak masih memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggungjawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan UU ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya”.
Kemudian juga dalam hal terjadi kekerasan yang berupa eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan dilakukan melalui :
(1) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
(2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
(3) pelibatan pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual.

Pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan tersebut, semuanya hanya ditentukan, yaitu pemerintah dan masyarakat. Perlindungan yang diberikan oleh UU ini pada dasarnya juga masih bersifat abstrak, tidak secara langsung dapat dinikmati oleh korban kekerasan. Artinya, bahwa korban kekerasan tidak memperoleh perlindungan yang berupa pemenuhan atas kerugian yang dideritanya. Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan Anak (Pasal 74-76) juga belum menunjukkan adanya upaya pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, sebab komisi ini tentunya juga hanya tergantung dari ada tidaknya perlindungan yang yang berupa pemenuhan atas kerugian atau penderitaan anak korban kekerasan.

Selanjutnya dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang “Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga” (UU KDRT), mengenai perlindungan korban KDRT, ditetapkan dalam Bab IV tentang “Hak-hak Korban”, Bab VI tentang “Perlindungan” dan Bab VII tentang “Pemulihan Korban”. Hak-hak, perlindungan maupun pemulihan korban, dalam UU KDRT, dimaksudkan untuk semua korban KDRT, tentunya termasuk perlindungan terhadap anak korban KDRT. Dalam UU KDRT, perlindungan anak korban kekerasan, juga tidak tidak berbeda dengan yang ditetapkan dalam UU Pelindungan Anak, namun UU KDRT dalam merumuskan perlindungan terhadap korban kekerasan lebih kongkret dan operable. Pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, khususnya yang berupa pemenuhan ganti kerugian, baik melalui pemberian kompensasi dan/atau restitusi seharusnya memperoleh perhatian dari pembuat kebijakan.

Mengenai komepnsasi dan restitusi, Stephen Schafer,15 dalam bukunya “The Victim and His Criminal”, mengemukakan 5 (lima) sistem pemberian kompensasi dan restuitusi kepada korban kejahatan, yaitu :
(1) ganti rugi yang bersifat perdata, diberikan melalui rooses hukum perdata, terpisah dengan proses hukum pidana;
(2) kompensasi yang bersifat kepedartaan, diberikan melalui proses pidana;
(3) restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana, diberikan melalui proses pidana;
(4) kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara;
---------------
15 Stephen Schafer, 1968, The Victim and His Criminal, New York: Randam House, hal. 105.
(5) kompensasi yang bersifat netral diberikan melalui prosedur khusus.

Barda Nawawi Arief16 menjelaskan bahwa pada delik umum, hukum pidana positif Indonesia tidak mengenal ganti rugi, hanya untuk delik-delik tertentu ada jenis ganti rugi. Misalnya , “tindakan tata tertib” dalam tindak pidana ekonomi; pidana tambahan yang berupa pembayaran ganti rugi dalam tindak pidana korupsi. Sementara itu, ganti rugi dalam pidana bersyarat (Pasal 14c KUHP) tidak dapat disama kan dengan “denda kompensasi”, karena ganti rugi tersebut merupakan syarat untuk adanya pidana bersyarat yang dibebankan kepada terpidana. Berbagai bentuk ganti rugi tersebut bukan semata-mata diberikan untuk perlindunagn korban. Oleh karena itu perlu ada perhatian dari pembuat UU tentang pemberian perlindungan korban kejahatan (kekerasan) secara langsung. Pelindungan ini sangat diperlukan bagi korban kekerasan yang memang sangat memerlukan pemulihan kerugian, baik ekonomi maupun fisik, sementara korban tidak mampu.

Pemberian perlindungan korban kejahatan ini dapat dilakukan negara dengan pertimbangan bahwa negara gagal dalam melindungan warganya dari rasa aman. Dalam hal ini Barda Nawawi Arief17 mengemukakan, bahwa gagasan untuk memberikan kompensasi kepada korban kejahatan (kekerasan) oleh negara atau masyarakat perlu dikembangkan di Indonesia, meskipun hal itu masih tergantung dari kemampuan negara. Apabila tersangka (pelaku) saja mendapat perlindungan dan bantuan dari negara untuk memperoleh hak rehabilitasi, ganti rugi, dan bantuan hukum cuma-cuma, dalam hal-hal tertentu, maka wajar apabila korban juga mendapat perlindungan dari negara. Terlebih dilihat dari tujuan dan tanggungjawab negara untuk mewujudkan pemerataan keadilan sosial dan kesejahteraan umum.

Pemikiran tersebut sejalan dengan himbauan yang diberikan oleh Kongres PBB ke-7 dan Resolusi MU-PBB No. 40/34, butir 9, kepada negara-negara anggota, sebagai berikut : “Goverment should review their practices, regulations and law to consider restitution as an available sentencing option in criminal cases, in addition to other criminal sanctions”. Dalam butir berikutnya juga disampaikan, bahwa “Where public officials or other agents acting in official or quasi-official capacity have violated national criminal laws, the victim should receive restitute from the state whose officials or agents were responsible for the harm influented” Butir 11). Selanjutnya dalam butir 12 disebutkan: “When compensation is’nt fully available from the often or other sources, state should endeavor to provide compensation to:
(a) victims who have sustained significant bodily injure or impaiment of physical or mental healt as a res of serious crime;


------------
16 Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban ……, Ibid., hal. 7.
17 Ibid, hal. 12.


(b) the family, in particular dependents of persons have diet or become physically or mentally incapacitateda as a result of such victimization”.18

Seperti dikemukakan di atas, meski kedua UU tersebut sudah menetapkan berbagai bentuk perlindungan anak korban kekerasan, namun bentuk perlindungan yang bersifat langsung, baik dari negara ataupun dari pelaku kekerasan belum nampak secara jelas. Oleh karenanya perlu ditetapkan model pemberian perlindungan anak korban kekerasan baik dalam UU Perlindungan Anak maupun UU KDRT secara jelas dan tegas serta bersifat operable, sehingga dalam kehidupan selanjutnya anak koban kekerasan benar-benar mendapat jaminan hukum yang jelas.

PENUTUP

Penetapan perbuatan kekerasan pada anak sebagai tindak pidana melalui perundang-undangan, baik perundang-undangan pidana umum, maupun sektoral pada dasarnya sudah cukup memadahi. Penetapan ini sebenarnya sudah merupakan bentuk pemberian perlindungan secara tidak langsung (abstrak) terhadap anak korban kekerasan. Perlindungan ini tentunya masih memerlukan bentuk perlindungan lain yang lebih bisa dirasakan secara langsung oleh anak korban kekerasan. Di samping itu, penetapan perbuatan kekerasan sebagai tindak pidana juga terkandung upaya pencegahan dengan hukum pidana.

Upaya penannggulangan kekerasan dengan non hukum pidana juga sudah ditetapkan oleh pembuat UU, meski tidak secara tegas ditetapkan sebagai upaya pencegahan yang komprehensif.

Kebijakan yang berkaitan dengan kekerasan pada anak dalam kedua UU di atas, yakni UU Perlindungan Anak dan UU KDRT, masih perlu ditinjau ulang guna penyempurnaan, terutama mengenai pemberian perlindungan dan kebijakan pencegahan kekerasan pada anak dengan non-hukum pidana.











-------------
18 United Nations, Generall Asembly, 1993, Compilation o f International Instrument, Volume I. New York, hal. 383.


DAFTAR PUSTAKA

Hoefnagels, G.P., 1973, The Other Side of Criminology, Deventer-Holland: Kluwer.

Iswanto, 1995, Perlindungan Korban Akibat Kecelakaan Lalu-lintas Jalan Raya, Disertasi, Tidak dipublikasikan, Yogyakarta: UGM.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Nawawi Arief, Barda,1982, Masalah Pemidanaan Sehubungan dengan Perkembangan Delik-delik Khusus dalam MAsyarakat Modern, Jakarta: BPHN.

————, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.

————, 1997, Perlindungan Korban Kejahatan dalam Proses Peradilan Pidana, Makalah Seminar Nasional “Perlindungan HAM dalam Proses Peradilan Pidana” (Upaya Pembaharuan KUHAP), Fakultas Hukum UMS, 17 Juli.

Setyowati, Retno, 2004, Anak Yang Dilacurkan di Surakarta dan Indramayu, UNICEF.

Sudarto, 1977, Hukum dan Hukumm Pidana, Bandung: Alumni.

————, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni.

————, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Alumni.

Schafer, Stephen, 1968, The Victim and His Criminal, New York: Randam House, United Nations, Generall Asembly, 1993, Compilation of International Instrument, Volume I. New York


Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar