Jumat, 12 Desember 2008

PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Pelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional merupakan terjemahan langsung dari "Violation on International humanitarian law" Oleh karena berbagai perjanjian internasional baik Konvensi, statuta maupun protokol memberikan istilah pelanggaran untuk tindakan-tindakan yang bertentangan dengan Hukum Humaniter dan selanjutnya diantara pakar Hukum Humaniter Prof Haryomataram menggunakan istilah "kejahatan perang" hal ini dimaksudkan bahwa penggunaan istilah " pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional " dapat dipahami dan diartikan sebagai kejahatan perang.

Terminologi kejahatan perang.

a. Nomenklatur tentang kejahatan perang digunakan secara berbeda menurut beberapa Statuta atau Konvensi Internasional yang mengatur tentang tindakan kejahatan perang, dalam Konvensi Den Haag tentang hukun dan kebiasaan perang didarat tanggal 18 Oktober 1907 memberi istilah kejahatan perang sebagai " serious violations " demikian juga Konvensi Jenewa tangg 12 Agustus 1949 dan Protokol tambahan Jenewa tahun 1977 memberi istilah sebagai " grave breaches " sedangkan Konvensi Genosida menyebut definisi kejahatan perang sebagai " a crime under international law "

b. Dalam bagian lainnya Mahkamah Ad Hoc Den Haag dan Rwanda menyebut kejahatan perang dengan menggunakan istilah " serious violation of international humanitarian law " sebagai istilah baru yang memang belum pernah ada dalam konvensi-konvensi yang berlaku sebelumnya dengan maksud memberi pengertian yang lebih luas dari istilah " grave breaches " yang meliputi seluruh tindakan yang melanggar ketentuan Hukum Humaniter internasional, sedangkan Mahkamah Pidana internasional (International Criminal Court) memberikan istilah bagi kejahatan perang sebagai " the most serious crimes "

c. Akan tetapi nama/istilah yang diberikan bagi pelanggar hukum humaniter namun pada intinya adalah merujuk pada tindakan-tindakan kejahatan yang dilakukan pada saat terjadi perang dan menuntut pertanggungjawaban bagi para pelaku. Perbedaan istilah tersebut hendaknya tidak dilihat secara harafiah, melainkan harus dilihat dalam konteks bahwa substansi tindakan-tindakan tersebut merupakan kejahatan yang sangat kejam terhadap masyarakat yang beradab.

d. Dalam terminologi hukum pidana Indonesia, perbedaan dari istilah tersebut tidak identik dengan perbedaan antara kejahatan di satu pihak dan pelanggaran dilain pihak, berdasarkan pada buku II tentang kejahatan dan buku III tentang pelanggaran yang terdapat dalam KUHP, yang dimaksud disini adalah penggunaan istilah pelanggaran dan kejahatan dalam konteks " kejahatan perang " tidak identik dengan penggunaan istilah kejahatan dan pelanggaran berdasarkan KUHP yang akan mempengaruhi pemidanaan terhadap pelaku.

e. Statuta Mahkamah Militer Internasional Nuremberg mengkualifikasikan subject matter jurisdiction atas 3 jenis kejahatan (Kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang), akan tetapi ke 3 jenis kejahatan tersebut disebut sebagai kejahatan perang ( war crimes ) dengan demikian pelaku 3 jenis kejahatan tersebut disebut penjahat perang/war criminal.

f. Untuk memperjelas yang dimaksud dengan Kejahatan Perang, maka dapat dibagi ruang lingkupnya sebagai berikut :
1) Kejahatan perang.
Kejahatan perang (dalam arti kata sempit) adalah tindakan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang sebagaimana diatur dalam Konvensi Den Haag ke IV tahun 1907 tentang hukum dan kebiasaan perang di darat khususnya ketentuan pasal 46,50,52 dan pasal 56 dan Konvensi Jenewa tahun 1929 tentang perawatan prajurit yang sakit dan luka-luka serta tentang tawanan perang. Tindakan kejahatan perang juga mencakup pelanggaran-pelanggaran berat terhadap ketentuan Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang perlindungan korban perang.
2) Kejahatan agresi.
Kejahatan terhadap perdamaian dalam bentuk perencanaan, persiapan, memulai atau melaksanakan perang, disebut juga kejahatan agresi. Pada mulanya konsep kejahatan agresi sebagai kejahatan internasional berkait erat dengan perbedaan antara " Perang adil " dan " Perang tidak adil " ( just and injust war ). Metode-metode perang tidak adil pada dasarnya merupakan perang agresi, yaitu perang yang melanggar keagunan (jaminan) dari fakta untuk tidak saling menyerang ( not to attack ).
3) Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah suatu kejahatan yang baru yang berhubungan dengan doktrin mengenai perlindungan HAM yang dapat diterapkan dimasa perang atau dimasa damai, yang menjadi dasar hukum bagi tindakan kejahatan ini adalah Konvensi Den Haag ke IV tahun 1907 yang menyatakan bahwa penduduk sipil dan pihak-pihak berperang akan tetap tunduk pada perlindungan dan prinsip hukum internasional.
4) Kejahatan Genosida.
Bahwa kejahatan genosida adalah tindakan yang berkaitan dengan maksud menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok suku bangsa, etnik, ras atau agama tertentu juga termasuk perbuatan pembunuhan, pengudungan anggota tubuh, penggunaan obat bius yang dapat menghancurkan kelompok termasuk tindakan pemandulan.


Kategori pelanggaran.
a. Ketentuan-ketentuan yang termuat baik dalam Konvensi Jenewa maupun dalam Protokol I hanya memberikan kerangka hukum yang umum saja, selanjutnya bagi negara penandatangan harus melengkapi ketentuan tersebut di tingkat nasional. Pelanggaran yang dinyatakan berat, terdaftar dalam Konvensi-Konvensi Jenewa akan tetapi daftar dari semua tindakan lainnya yang bertentangan dengan hukum tersebut tidak disusun.

Namun demikian belum tentu suatu perbuatan yang melanggar hukum dan yang tidak terdaftar sebagai pelanggaran berat akan dilihat sebagai pelanggaran ringan, dalam hal ini perlu mempertimbangkan pula ketentuan hukum Konvensi lainnya serta peraturan adat internasional.

Perbuatan-perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran berat berdasarkan Konvensi Jenewa I,II,III dan IV antara lain Pembunuhan yang disengaja, Penganiayaan dan perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis, Perbuatan yang menyebabkan penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan.

b. Konvensi Jenewa I, II dan III :
Ketentuan ini menyatakan bahwa pengrusakkan dan tindakan pemilikan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang akan dilaksanakan secara luas, dengan melawan hukum dan dengan sewenang-wenang.

1) Konvensi Jenewa III dan IV :
a) Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa untuk berdinas dalam ketentaraan negara musuh.
b) Merampas dengan sengaja hak-hak tawanan perang atau orang yang dilindungi oleh konvensi Jenewa atas peradilan yang adil dan wajar yang ditentukan dalam Konvensi.

2) Konvensi Jenewa IV :
a) Deportasi dan pemindahan secara tidak sah.
b) Penahanan yang tidak sah.
c) Penyanderaan.

3) Protokol Tambahan I :
a) Setiap perbuatan yang dapat membahayakan kesehatan atau integritas fisik maupun mental.
b) Dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan kematian atau luka berat atas badan atau kesehatan, sebagai berikut :
(1) Serangan terhadap masyarakat sipil.
(2) Serangan membabi buta yg merugikan masy sipil /obyek sipil.
(3) Serangan yang diarahkan pada instalasi yang berisi kekuatan yang berbahaya.
(4) Serangan yang diarahkan pada perkampungan yang tidak dipertahankan dan daerah diluar operasi militer.
(5) Serangan terhadap orang yg tidak lagi ikut dalam pertempuran.
(6) Penyalahgunaan tanda pelindung.

4) Dengan sengaja melakukan perbuatan sebagai berikut :
a) Pemindahan sebagian dari masyarakat sipilnya oleh pihak yang menduduki ke dalam wilayah yang sedang diduduki, serta deportasi atau pemindahan sebagian atau seluruh masyarakat sipil yang diduduki.
b) Keterlambatan dlm repatriasi tawanan perang atau orang sipil.
c) Tindakan yang merendahkan martabat manusia dan diskriminasi berdasarkan atas perbedaan ras.
d) Serangan thd monumen sejarah, benda budaya dan tempat ibadah.
e) Tidak menghormati hak setiap orang yang dilindungi oleh Hukum Jenewa untuk menerima pengadilan yang wajar.

5) Pelanggaran juga dapat berupa tidak dipenuhinya kewajiban yang diberikan oleh Hukum Jenewa. Sedangkan pelanggaran yang dikatagorikan tidak berat adalah setiap pelanggaran yang tidak dinyatakan sebagai pelanggaran berat namun yang disebabkan karena tidak dipenuhinya kewajiban untuk bertindak sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional.

Tanggung jawab pidana.
Tanggung jawab pidana merupakan persyaratan yang harus dipenuhi agar pelanggar dapat dihukum sebagai akibat dari perbuatan yang telah dilakukan, masalah tanggung jawab pidana ini diatur dalam dua sistem hukum, masing-masing hukum internasional dan hukum nasional.
a. Hukum internasional.
1) Pasal 49 Konvensi Jenewa I serta pasal yang sama pada Konvensi Jenewa lainnya, menegaskan bahwa : Pihak peserta agung berjanji menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana effektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu diantara pelanggaran berat atas Konvensi ini seperti ditentukan di dalam pasal berikut.

2) Disamping itu pasal 86 ayat 2 Protokol Tambahan I menegaskan bahwa " Pelaksanaan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa atau Protokol Tambahannya oleh seorang bawahan tidak dapat mengecualikan tanggung jawab pidana maupun disipliner atasannya, apabila keadaan itu atasan tersebut mengetahui atau dapat mengetahui bahwa bawahannya akan atau sedang melakukan pelanggaran dan atasan tersebut tidak berusaha untuk mengambil segala tindakan yang mungkin agar mencegah atau menghentikan pelanggaran itu "

Hukuman pidana merupakan akibat langsung dari tanggung jawab pidana tersebut. Didalam HHI masalah hukuman pidana yang dapat dijatuhkan sehubungan dengan pelanggaran tidak tegas, oleh karena itu perlu dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan hukum nasional.

b. Undang-undang nasional.
Mengenai tindakan yang perlu diambil di tingkat nasional sehubungan dengan prosedur tidak ada masalah karena dengan memberikan wewenang kepada pengadilan nasional maka peraturan nasional akan mengatur pula prosedur peradilan. Yang perlu ditentukan adalah pengadilan mana yang berwewenang mengadili terhadap pelanggaran yang dilakukan saat berlangsungnya pertikaian bersenjata, dibeberapa negara wewenang dibagikan :
1) Pengadilan militer berwenang untuk menghukum pelanggaran yang dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata.
2) Pengadilan sipil berwenang untuk menghukum pelanggaran yang dilakukan oleh orang sipil.

Pada akhirnya dibeberapa negara menetapkan wewenang untuk menghukum pelanggaran yang dilakukan pada waktu terjadinya pertikaian bersenjata diberikan sepenuhnya kepada pengadilan militer, dengan demikian negara penandatangan tidak perlu mengubah sistim peradilan mereka, cukup memperluas wewenang pengadilan nasional agar dapat mencakup pelanggaran berat seperti yang ditentukan dalam Konvensi Jenewa maupun Protokol Tambahan. Dalam proses pengadilan, jaminan yang perlu dihormati adalah sebagai berikut :
1) Tersangka harus diberitahu mengenai tuduhannya dalam bahasa yang dipahaminya agar dia dapat mempersiapkan pembelaannya.
2) Tanggung jawab pidana hanya dpt ditetapkan secara perorangan.
3) Pelanggaran hanya dapat ditentukan dan hukuman hanya dapat dijatuhkan berdasarkan hukum pidana yang berlaku pada waktu pelanggaran tersebut dilakukan.
4) St tersangka dianggap tak bersalah sblm kesalahannya terbukti.
5) Tidak seorangpun dapat dipaksa untuk mengakui kesalahannya
6) Pelanggar tdk dpt dihukum dua kali untuk pelanggaran yg sama.
7) Sidang pengadilan pada prinsipnya terbuka untuk umum.
8) Setiap orang yang dinyatakan bersalah berhak naik banding.

Yang terpenting dalam proses penyelesaian pelanggaran Hukum
Humaniter Internasional terutama bagi negara-negara penandatangan
yang bertanggung jawab atas penerapan Hukum Humaniter Internasional, maka seperti yang diungkapkan dalam pasal 1 setiap Konvensi Jenewa sebagai berikut : " Pihak-pihak peserta Agung berjanji untuk menghormati dan menjamin penghormatan Konvensi ini dalam segala keadaan ".



Keadilan Bagi Korban Pelanggaran HAM
Bhatara Ibnu Reza
‘Pemantauan terhadap pelaksanaan status darurat di Aceh tak hanya dilakukan NGO berskala lokal dan nasional, tapi juga NGO internasional. Komnas HAM, memiliki peran besar dalam memantau pelaksanaan darurat militer (DM) di Aceh. Setelah itu, Komnas HAM tak intensif lagi melaporkan hasil pantauannya kepada publik. Begitu pula saat perubahan status dari DM menjadi darurat sipil (DS).

Media asing tidak luput mewartakan pelanggaran HAM di awal DM I. Misalnya, pembantaian tujuh warga sipil di Desa Matangmamplan, Bireuen oleh militer Indonesia. Salah satu korban peristiwa ini seorang anak berumur 12 tahun. The Guardian dan BBC (edisi 22 Mei 2003), menggambarkan orang-orang tersebut ditembak satu-persatu oleh personel dari satuan militer berjumlah 100 orang yang bertugas di desa tersebut. Menurut keterangan dari penduduk desa, para korban adalah petani. Mereka berusaha mencegah tentara untuk menangkap dan menembak korban, namun tak digubris. Sesaat setelah peristiwa itu, TNI membentuk tim internal bersama dengan jurnalis yang meliput untuk melakukan penyelidikan. Hasilnya hingga saat ini tidak ada satupun pelaku yang bertanggungjawab dibawa ke pengadilan.

Hukum dan Etika Perang

Dalam perang atau konflik bersenjata, para pihak bertikai dibatasi oleh rambu-rambu hukum internasional. Indonesia harus tunduk dengan hukum internasional yang terdiri atas instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi dan instrumen hukum kebiasaan internasional; instrumen hukum humaniter; dan instrumen hukum nasional.

Berbagai instrumen Hukum internasional yang telah diratifikasi :
1) Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia,
2) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita,
3) Konvensi tentang Anti Penganiayaan,
4) Konvensi tentang Hak-hak Anak,
5) Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial.
Sementara instrumen hukum internasional yang belum diratifikasi dan Hukum Kebiasaan Internasional :
1) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik,
2) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
3) Protokol Optional Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik,
4) Konvensi tentang Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar,
5) Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida,
6) Statuta Mahkamah Pidana Internasional 1998 (Statuta Roma).

Instrumen hukum humaniter, di antaranya :
1) Konvensi Jenewa 1949
2) Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1949.

Sedangkan instrumen hukum nasional, meliputi :
1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
2) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan 4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Indonesia sendiri telah lama menjadi peratifikasi Konvensi Jenewa 1949 sejak diterbitkannya UU No. 59 Tahun 1958 pada 30 September 1958. Namun, Indonesia belum meratifikasi dua Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1949 (1977). Masyarakat internasional telah banyak meratifikasi kedua protokol tersebut serta memakainya pada setiap konflik bersenjata, baik internasional maupun non-internasional. Indonesia tak dapat melepaskan diri keduanya, karena protokol tersebut berstatus hukum kebiasaan internasional (customary international law).

Serangkaian ketentuan di atas harusnya mereduksi jumlah korban nyawa manusia akibat konflik bersenjata. Namun, pemerintah Indonesia menolak bila apa yang dilakukannya sebagai sebuah perang. Menurut pemerintah, perang hanya dilakukan antara negara dengan negara dan bukan negara dengan separatis.

Apapun itu namanya tak menjadikan perang mengabaikan etika yang telah digariskan oleh instrumen hukum internasional. Prinsip ius ad bellum (etika dalam perang) di Aceh sama sekali diabaikan. Prinsip ini memaksa negara untuk menjadikan perang sebagai bagian resolusi konflik dengan memerhatikan prinsip diskriminasi di mana perang hanya berlaku bagi para pihak yang bertikai (kombatan).

Selain itu adanya prinsip proporsionalitas yang menitikberatkan pada bagaimana perancang perang dapat mengkalkulasi biaya dan kerusakan yang timbul akibat perang. Inilah yang disebut just war (perang yang adil).

Berbagai Pelanggaran HAM

Selama masa darurat, kedua pihak (aparat pemerintah dan GAM, red) tercatat melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter dan HAM. Namun masing-masing tidak mengakui dan bertangungjawab atas pelanggaran tersebut. Kedua pihak saling melemparkan kesalahan dan mengklaim tidak melakukan pelanggaran. Fakta di lapangan, kedua pihak mengabaikan masyarakat sipil yang seharusnya tidak menjadi korban dalam konflik bersenjata.

Pelanggaran seperti terjadi di Desa Matangmamplan, Bireuen, merupakan tindakan extra judicial execution—pembunuhan secara melawan hukum dan sengaja yang dilakukan dengan perintah dari pemerintah atau dengan keterlibatan atau persetujuan diam-diamnya. Sedangkan tindakan yang dilakukan adalah summary killing atau pembunuhan yang dilakukan secara cepat dan tak beraturan. Artinya pelaku telah menjustifikasi bahwa siapa saja yang mereka temui adalah musuh.

Secara hukum nasional, penangkapan tanpa surat perintah tersebut merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya Pasal 32 (4) yang mengatur perlunya surat dalam penangkapan. Idealnya, pasal ini digunakan berkaitan dengan wewenang PDMD untuk membatasi hak-hak yang tak dikategorikan sebagai hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan dalam keadaan apapun (non-derogable rights).

Seperti diketahui saat DM, PDMD mengeluarkan sejumlah maklumat untuk melakukan pembatasan sejumlah hak. Segenap peraturan itu digunakan untuk melakukan penangkapan terhadap warga sipil yang berimplikasi pada hak orang tersebut dilanggar dengan tidak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum (rights to be treated equal before the law).

Selama keadaan darurat, khususnya DM, jumlah orang yang mengalami penyiksaan meningkat seiring dengan peningkatan penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest). Penyiksaan adalah metode yang paling lama dikenal dan digunakan oleh aparat untuk mendapatkan informasi dari tahanan atau tawanan perang. Sebelumnya, semasa Daerah Operasi Militer (DOM) terdapat fenomena rumah geudong, yaitu sebuah rumah di Pidie yang dipergunakan aparat Kopasus untuk menyiksa para penduduk yang dicurigai memiliki hubungan dengan GAM. Tak hanya Kopasus, penyiksaan dilakukan pula oleh para cuak—warga sipil Aceh yang bekerja sebagai mata-mata serdadu.

Adalah kewajiban Pemerintah Indonesia untuk melindungi warga negaranya dari usaha penyiksaan yang dilakukan oleh aparat atau suatu kelompok yang terorganisir. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1998. Itu berarti pemerintah terikat (consent to be bound) dengan konvensi ini.

Larangan penyiksaan itu bersifat mutlak dan tanpa kecuali serta tiada suatu keadaan yang menjadikan penyiksaan sebagai tindakan sah. Dalam prakteknya, aparat negara masih menggunakan mekanisme penyiksaan tersebut. Ratifikasi terhadap Konvensi Anti Penyiksaan tidak diiringi dengan pembaruan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur proses penyelidikan dan penyidikan berikut aparatnya agar tidak menggunakan mekanisme penyiksaan.

Penghilangan paksa adalah kejahatan yang paling banyak melanggar HAM yang diakui sebagai hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Mulai dari kehilangan hak kebebasan (right to liberty and security of person), hak untuk tidak disiksa (right not to be subjected to torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment) serta hak diperlakukan sama di hadapan hukum (right to be treated equal before the law).

Dalam konteks Aceh, kejahatan ini acap dilakukan untuk membungkam para aktivis politik serta pembela HAM, baik yang berprofesi sebagai guru, pengacara dan lain sebagainya. Sebulan DS II tercatat 12 orang hilang tidak diketahui nasibnya.

Kejahatan ini tidak saja membuat manusia tercerabut dari kebebasannya, namun juga menghilangkan eksistensi dirinya sebagai persona yang seharusnya subyek hukum menjadi tidak ada dan hukum tidak dapat menjamin sesuatu yang tidak ada. Korban penghilangan paksa seringkali menghadapi penderitaan yang amat mendalam.

Dalam kasus-kasus yang terbongkar, mereka menjalani penyiksaan baik fisik maupun mental. Karena tindakan itu adalah sebuah kejahatan berlanjut (a continuing crime), selama korban belum ditemukan selama itulah kejahatan berlangsung. Karenanya prinsip non-retroaktif yang merupakan dasar dari asas legalitas tidak berlaku menghadapi kejahatan ini.

Keadilan dan Akuntabilitas
Berangkat dari sekian banyak pelanggaran HAM, di masa DM Dan DS, jalan yang patut dipertimbangkan adalah menghadirkan keadilan dan akuntabilitas (justice and accountability). Menghadirkan keadilan bagi korban dan keluarganya, yakni dengan mengadili pelaku pelanggaran HAM. Hingga kini, sebagian besar rakyat Aceh mengidap trauma berat akibat mereka menjadi saksi langsung dari kekejaman perang.

Tak ada alasan bagi negara untuk menunda hadirnya keadilan bagi mereka. Karena menunda keadilan sama dengan menyangkal keadilan itu sendiri (justice delayed is justice denied). Jika itu terjadi, maka akan menimbulkan kembali praktik impunitas yang telah ditentang oleh masyarakat internasional. Masyarakat internasional memiliki kewajiban untuk menangkap, menahan, menuntut, mengadili para pelaku (perpetrators) kejahatan kemanusiaan.

Para pelaku kejahatan tidak memiliki waktu untuk bernapas bebas karena mereka diburu ibarat hama yang harus dibasmi. Mereka mendapatkan status sebagai hostis humanis generis atau musuh umat manusia, sebuah status pariah dimana seseorang yang mendapatkan status ini dikucilkan dan dianggap tidak ada oleh masyarakat.

Karenanya penegakan terhadap keadilan dan akuntabilitas harus dilihat sebagai upaya negara menghadirkan keadilan bagi korban dan keuarganya sekaligus sebagai sarana untuk memutus rantai impunitas yang hingga kini masih melilit erat di tanah air kita.

*) Peneliti IMPARSIAL The Indonesian Human Rights Monitor.


SEBUAH CATATAN SINGKAT Tantangan Pelurusan Konsep Hukum Setelah Dibatalkannya ASAS RETROAKTIF

Hikmahanto Juwana
(Guru Besar Hukum Internasional, FHUI)


PENGANTAR

Pada saat ini sistem hukum di Indonesia sedang diuji sehubungan dengan dibatalkannya pemberlakuan asas retroaktif atas UU Terorisme. Tantangan ini terkait dengan dua nilai yang selalu dipadankan namun untuk peristiwa ini saling bertentangan, yaitu nilai hukum dan keadilan.
Tulisan ini hendak membahas bagaimana secara hukum dan ilmu pengetahuan hukum pembatalan asas retroaktif dapat dibenarkan, namun secara keadilan sulit untuk diterima. Dalam artikel ini akan disampaikan beberapa alternatif solusi yang lebih mengedepankan nilai keadilan tanpa mengorbankan kebenaran menurut hukum.
Tulisan ini akan dimulai dengan pembahasan sudah tepatnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pembatalan UU No. 16/2003 yang memberlakukan secara retroaktif UU Terorisme dalam peristiwa pemboman di Bali. Selanjutnya akan dibahas tantangan yang dihadapi oleh sistem hukum Indonesia untuk lebih mengedepankan keadilan.

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

Konsep pemberlakuan asas retroaktif merupakan konsep hukum yang dikenal dalam hukum internasional, khususnya hukum pidana internasional.
Bagi awam mungkin hukum internasional dipahami hanya sebagai hukum yang mengatur hubungan antar negara. Meskipun pandangan tersebut tidak salah, namun dalam hukum internasional modern ruang lingkup tersebut telah mendapat perluasan. Salah satu perluasan tersebut adalah individu menjadi subyek hukum internasional. Ini terjadi bila individu dituduh melakukan kejahatan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional. Dalam perspektif ilmu hukum, kejahatan dibedakan antara kejahatan nasional dan kejahatan internasional. Kejahatan nasional adalah kejahatan yang dianggap sebagai suatu perbuatan jahat menurut
masyarakat di suatu negara. Untuk itu kejahatan nasional ditentukan oleh masyarakat dan lembaga pembentuk undang-undang di suatu negara. Sementara kejahatan internasional adalah kejahatan yang dianggap oleh masyarakat internasional sebagai perbuatan jahat.
Penentuan jenis kejahatan internasional dilakukan atas dasar suatu kebiasaan yang terpelihara dikalangan negara-negara. Pada titik tertentu, kebiasaan ini dapat menjadi hukum internasional yang disebut sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law). Hukum kebiasaan internasional dalam proses selanjutnya dapat dikodifikasi dan dituangkan dalam perjanjian internasional. Jenis perbuatan jahat ini pada gilirannya dapat diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional. Hingga saat ini yang dianggap sebagai kejahatan internasional adalah kejahatan bajak laut dan empat jenis kejahatan yang termaktub dalam Statuta pendirian Mahkamah Pidana Internasional (MPI). Keempat kejahatan tersebut adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan perang dan kejahatan melancarkan perang agresi. Dalam konteks Indonesia kejahatan internasional diistilahkan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat sebagaimana tertuang dalam UU No. 26/2000. Ada dua jenis kejahatan internasional yang telah diadopsi, yaitu kejahatan terhadap kemanusian dan kejahatan genosida.

TERORISME SEBAGAI KEJAHATAN INTERNASIONAL

Inti putusan MK yang membatalkan pemberlakuan asas retroaktif bagi tindak pidana terorisme di Bali bertitik tolak pada tidak diakuinya kejahatan terorisme sebagai kejahatan internasional. Alasannya, terorisme tidak termasuk jenis kejahatan yang diatur dalam Statuta MPI maupun UU No. 26/2000. Pandangan ini tentu tidak sejalan dengan pandangan pemerintah sewaktu memberlakuan UU Anti Terorisme dalam peristiwa pemboman di Bali. Pada saat itu pemerintah menganggap tindak pidana terorisme sebagai kejahatan internasional. Ini dapat dilihat dalam penjelasan Perpu No. 1/2002 yang menyebutkan bahwa tindak pidana terorisme sebagai extraordinary crime.
Memang secara teoritis pemerintah yang memiliki wewenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan dapat membuat ketentuan yang mengkatagorikan tindak pidana terorisme sebagai kejahatan internasional. Sebagai konsekuensinya, yurisdiksi universal berlaku bagi para pelakunya mengingat dalam kejahatan internasional berlaku yurisdiksi jenis ini. Berdasarkan yurisdiksi universal maka asas retroaktif dapat diberlakukan.
Mengkategorikan tindak pidana terorisme sebagai kejahatan internasional pada saat ini masih sangat prematur. Pertama karena tidak banyak negara di dunia yang menganggapnya demikian. Kedua, kalaupun ada aspek internasionalnya, kejahatan terorisme dianggap sebagai kejahatan transnasional (transnational crime). Kejahatan demikian tetap merupakan kejahatan nasional namun jenis kejahatan ini memiliki implikasi lintas batas dalam penegakannya sehingga istilah ‘transnasional’ digunakan.

Oleh karenanya putusan dari MK harus dipahami sebagai upaya meluruskan pandangan pemerintah yang mengkategorikan kejahatan terorisme sebagai kejahatan internasional. Memang pemerintah memiliki alasan mengapa tindak pidana terorisme dianggap sebagai suatu kejahatan internasional. Salah satunya adalah untuk memudahkan penyidikan dan penuntutan terhadap para tersangka.
Namun dengan diputuskannya kejahatan terorisme sebagai kejahatan nasional oleh MK maka pemberlakuan asas retroaktif tidak dapat diberlakukan.

UJIAN

Saat ini sistem hukum di Indonesia sedang diuji untuk menghadapi tantangan meluruskan konsep hukum yang masih gamang untuk dipahami. Di satu sisi MK hendak mengembalikan perspektif yang benar atas keputusan pemerintah, namun di sisi lain putusan MK seolah mengabaikan nilai keadilan. Pengabaian nilai keadilan terjadi karena masyarakat telah menganggap mereka yang diperiksa bahkan telah dalam status terpidana adalah mereka yang bertanggung jawab atas peristiwa pemboman di Bali. Saat ini mereka bisa saja dibebaskan bukan karena tidak terbukti melakukan pemboman melainkan karena JPU ataupun pengadilan telah menggunakan alas hukum yang telah kehilangan dasar. Logikanya sederhana, bagaimana mungkin seseorang dipersalahkan bila UU yang mengaturnya sudah dinyatakan tidak berlaku? Masyarakat kerap tidak menyadari bahwa dalam proses hukum sering tersangka atau terdakwa dibebaskan bukan karena terbukti tidaknya tuduhan JPU, melainkan karena masalah prosedural. Masalah prosedural ini antara lain adalah cara penangkapan, dasar hukum yang digunakan untuk menuduh dan lain sebagainya.

SOLUSI

Paling tidak ada dua opsi yang dapat ditawarkan untuk mengedepankan masalah keadilan setelah konsep hukum pemberlakuan asas retroaktif diluruskan oleh MK.
Opsi pertama adalah Mahkamah Agung (MA) tetap memberlakukan UU No. 16 bagi mereka yang telah diputus berdasarkan UU ini. Alasannya adalah tidak diberlakukannya suatu UU tidak berarti bahwa mereka yang dinyatakan salah atas UU tersebut bisa dengan sendirinya bebas. Banyak peristiwa yang menunjukkan ini. Banyak aktivis yang telah dihukum berdasarkan UU Tindak Pidana Subversi, namun setelah dicabut UU Tindak Pidana Subversi tidak berarti mereka yang pernah dihukum dengan sendirinya dibebaskan. Harus diakui bahwa pembentukan UU sangat tergantung pada apa yang ditafsirkan oleh pembentuk UU pada situasi dan kondisi tertentu. Di negara tertentu, pemakai Narkotika dan obat terlarang di suatu waktu dinyatakan sebagai suatu kejahatan namun pada saat yang lain diperbolehkan (dekriminalisasi). Masalahnya adalah apakah dengan perubahan UU lalu dengan sendirinya perbuatan yang dinyatakan ‘jahat’ menjadi tidak jahat dapat membebaskan pelakunya?
Jawaban dari pertanyaan ini bisa dua. Pertama bila apa yang dianggap sebagai jahat bila masuk katagori kejahatan politik maka pelaku bisa saja dibebaskan. Jawaban kedua adalah bila kejahatan yang dilakukan tidak dikualifikasikan sebagai kejahatan politik maka pelaku tidak bisa begitu saja dibebaskan. Mengikuti logika berpikir ini, MA bisa tetap mempersalahkan mereka yang dijatuhi hukuman atas dasar UU Terorisme yang diberlakukan secara retroaktif sepanjang MA bisa mengkualifikasinya kejahatan terorisme sebagai bukan ranah kejahatan politik. Opsi kedua yang dimiliki oleh MA adalah MA mengikuti putusan MK. Bila opsi ini yang diambil maka ada pertanyaan hukum mendasar yang perlu dijawab oleh MA. Pertama adalah diberlakukan sebagai apa putusan MK? Apakah merupakan bukti baru (novum) ataukah suatu rebus sic stantibus, perubahan yang sangat mendasar yang dikenal dalam hukum internasional. Pertanyaan kedua adalah apakah terpidana harus dibebaskan karena adanya perubahan yang sangat mendasar ini? Bila mereka dibebaskan pertanyaan berikutnya adalah atas dasar hukum apa mereka akan diadili kembali tanpa harus terkena asas ne bis in idem. Untuk pertanyaan terakhir ini harus dijawab oleh JPU pada saat menuntut kembali para terpidana bom di Bali.

PENUTUP

Apapun putusan yang dilakukan oleh MA terhadap para pelaku tindak pidana terorisme maka perlu dikedepankan masalah keadilan tanpa harus mengabaikan masalah hukum. Ini penting agar MA tidak hanya berfungsi untuk menegakkan hukum tetapi juga menegakkan keadilan. Segala sesuatunya berada di tangan MA.

Tulisan ini telah disosialisasikan pada Diskusi Publik Tema; “Implikasi Putusan MK Terhadap Kasus Bom Bali”. Diselenggarakan oleh KHN, di Jakarta, (19/08/04)

3 komentar:

  1. makasih kak infonya, lumayan buat masukan materi hukum humaniter dan kejahatan internasional besok

    BalasHapus
  2. Postingannya keren.. Maaf dibajak tmn td

    BalasHapus